Pernikahan Islami

SERIAL FIQH MUNAKAHAT IV
MAHAR, RESEPSI DAN ADAB MALAM PENGANTIN
MENURUT PETUNJUK AL-QUR'AN DAN SUNNAH
Oleh Aep Saepulloh Darusmanwiati***
Lisensi Dokumen
Copyright Aep Saepulloh, www.indonesianschool.org
Seluruh dokumen di www.indonesianschool.org dapat digunakan,
dimodifikasi dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial
(nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut
penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam setiap
dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali
mendapatkan ijin terlebih dahulu dari penulis, indonesianschool.org.
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
2
SERIAL FIQH MUNAKAHAT IV
MAHAR, RESEPSI DAN ADAB MALAM PENGANTIN MENURUT
PETUNJUK AL-QUR'AN DAN SUNNAH
Oleh Aep Saepulloh Darusmanwiati***
Pendahuluan
Pembahasan kali ini sebenarnya merupakan perpanjangan dan perluasan dari pembahasan pada
makalah sebelumnya. Mengingat dalam persoalan ini terdapat ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan
tersendiri dan lumayan banyak, maka penulis mencoba membahasnya dalam bahasan khusus. Dalam
pembahasan nanti sebagaimana pembaca akan ikuti, penulis mencoba memaparkan segala hal yang erat
kaitannya dengan mahar, dan resepsi, mulai dari jenis dan macam mahar, apa saja yang dapat dijadikan
mahar, kapan mahar bisa jatuh dan tidak mesti dibayar, sampai maslah al-Hiba' yakni permohonan
sejumlah uang dari kerabat isteri. Demikian juga dengan masalah resepsi, penulis mencoba
mengetengahkan persoalan-persoalan yang erat kaitannya dengan masalah resepsi mulai dari waktunya,
cara dan bentuknya, hukum menghadiri walimah, sampai hal-hal yang harus diperhatikan ketika walimah.
Di akhir pembahasan, penulis mencoba mengetengahkan seputar etika malam pengantin berikut
aturan-aturan berhubungan badan dalam Islam. Apabila penulis perhatikan buku-buku fiqh, jarang sekali
mengupas secara panjang lebar seputar masalah ini. Barangkali di antara sebabnya karena persoalan ini
masih dipandang sebagai persoalan tabu dan terkesan "jorok". Hemat penulis, persoalan hubungan badan
bagi suami isteri bukanlah persolan tabu dan jorok, justru ia harus mendapatkan perhatian yang sangat
serius sebagaimana perhatian terhadap hal-hal lain yang terkait dengan masalah pernikahan. Hal ini
dikarenakan kepuasan dan kenikmatan dalam berhubungan badan termasuk salah satu penyebab
langgengnya rumah tangga. Menurut salah satu penelitian swasta di Mesir, sebagaimana pernah
disampaikan dalam Koran Harian al-Ahram beberapa bulan yang lalu, bahwa 20% kasus perceraian yang
terjadi di Mesir diakibatkan ketidakpuasan dalam masalah hubungan seks. Misalnya, si isteri, maaf,
"pasif" dan tidak berdandan, atau si suami yang egois, tidak memperhatikan kepuasan pasangannya dan
hal lainnya. Namun, perlu penulis tegaskan, sebagaimana telah dibahas pada makalah pertama, bahwa
kepuasan seks bukanlah tujuan utama dan satu-satunya penyebab harmonisnya rumah tangga. Ia hanya
salah satu bagian kecil ke arah itu.
Apabila kita perhatikan hadits-hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan masalah hubungan
badan suami isteri ini, kita akan mendapati bahwa Rasulullah saw memberikan porsi yang sangat besar.
Hal ini terlihat, di samping banyaknya hadits-hadits yang berbicara seputar hal itu, juga seringkali
Rasulullah saw secara langsung menyampaikannya. Namun apabila persoalannya sudah sangat pribadi
dan menyangkut khusus wanita, maka beliau menyuruh isteri-isterinya untuk menyampaikannya. Ini salah
satu bukti bahwa perhatian Islam mengenai hubungan badan ini sangatlah besar. Untuk itu, hemat penulis,
persoalan hubungan badan bukanlah masalah yang tabu, dan "jorok", tapi ia masalah yang penting yang
harus diketahui oleh semua laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan. Hal ini
karena masalah seks suami isteri termasuk salah satu bahasan dalam Fiqh Munakahat sebagaimana
bahasan-bahasan lainnya, di samping, masalah seks suami isteri ini juga merupakan salah satu upaya demi
tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sebagaimana yang diidam-idamkan bersama.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ringan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
para pembaca umumnya. Penulis juga haturkan semoga pahala dan amal shaleh ini, apabila dapat
dikatakan sebagai amal shaleh, dapat sampai untuk ayah penulis yang telah tiada sejak penulis masih bayi,
untuk nenek, kakek, Iwing dan seluruh kerabat penulis yang telah tiada khususnya, dan para kerabat serta
nenek moyang para pembaca pada umumnya. Allahummag firlahum, warhamhum, wa'afihi wa'fu 'anhum,
amin. Selamat menikmati.
Apa itu Mahar?
Mahar atau mas kawin adalah harta atau pekerjaan yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada
seorang perempuan sebagai pengganti dalam sebuah pernikahan menurut kerelaan dan kesepakatan kedua
belah pihak, atau berdasarkan ketetapan dari si hakim. Dalam bahasa Arab, mas kawin sering disebut
dengan istilah mahar, shadaq, faridhah dan ajr.
Mas kawin disebut dengan mahar yang secara bahasa berarti pandai, mahir, karena dengan
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
3
menikah dan membayar mas kawin, pada hakikatnya laki-laki tersebut sudah pandai dan mahir, baik
dalam urusan rumah tangga kelak ataupun dalam membagi waktu, uang dan perhatian.
Mas kawin juga disebut shadaq yang secara bahasa berarti jujur, lantaran dengan membayar mas
kawin mengisyaratkan kejujuran dan kesungguhan si laki-laki untuk menikahi wanita tersebut.
Mas kawin disebut dengan faridhah yang secara bahasa berarti kewajiban, karena mas kawin
merupakan kewajiban seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita.
Mas kawin juga disebut dengan ajran yang secara bahasa berarti upah, lantaran dengan mas kawin
sebagai upah atau ongkos untuk dapat menggauli isterinya secara halal.
Para ulama telah sepakat bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak
menikah, baik mahar tersebut disebutkan atau tidak disebutkan sehingga si suami harus membayar mahar
mitsil. Oleh karena itu, pernikahan yang tidak memakai mahar, maka pernikahannya tidak sah karena
mahar termasuk salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan, sebagaimana telah dijelaskan pada makalah
sebelumnya.
Apa saja yang boleh dijadikan mahar?
Mas kawin tidak mesti berupa uang atau harta benda, akan tetapi boleh juga hal-hal lainnya. Untuk
lebih jelasnya, berikut ini hal-hal yang dapat dijadikan mas kawin atau mahar:
1. Semua benda atau alat tukar (uang) yang dapat dijadikan harga dalam jual beli seperti uang
atau benda-benda lainnya yang biasa diperjualbelikan dengan syarat benda atau uang
tersebut, halal, suci, berkembang, dapat dimanfaatkan dan dapat diserahkan.
Oleh karena itu, harta hasil curian, tidak dapat dijadikan mas kawin karena ia barang haram
bukan halal. Demikian juga, peternakan babi tidak dapat dijadikan mas kawin karena bendanya
tidak suci. Piutang yang belum jelas kembalinya, juga tidak dapat dijadikan mas kawin lantaran
tidak dapat diserahkan. Point pertama ini didasarkan kepada ayat berikut ini:
( وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ....(النساء: 24
Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu…" (QS. An-Nisa: 24).
Kata amwal dalam ayat di atas dipahami oleh para ulama sebagai mas kawin, mahar.
2. Semua pekerjaan yang dapat diupahkan.
Menurut Madzhab Syafi'i dan Hanbali, pekerjaan yang dapat diupahkan, boleh juga
dijadikan mahar. Misalnya, mengajari membaca al-Qur'an, mengajari ilmu agama, bekerja
dipabriknya, menggembalkan ternaknya, membantu membersihkan rumah, ladang atau yang
lainnya. Misalnya, seorang laki-laki berkata: "Saya terima pernikahan saya dengan putri bapak
yang bernama Siti Maimunah dengan mas kawin akan mengajarkan membaca al-Qur'an
kepadanya selama dua tahun, atau dengan mas kawin mengurus ladang dan ternaknya selama dua
bulan". Akan tetapi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mahar dengan pekerjaan yang dapat
diupahkan hukumnya makruh (dibenci).
Penulis lebih condong untuk mengambil pendapat madzhab Syafi'i yang membolehkan
kerja sebagai mas kawin. Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika Nabi Musa menikahi salah
seorang gadis laki-laki tua (dalam satu riwayat dikatakan laki-laki tua itu adalah Nabi Syuaib),
dengan mas kawin bekerja untuk laki-laki tua itu (calon mertuanya) selama delapan tahun
sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam surat al-Qashash ayat 27:
تَ 􀑧 إِنْ أَتْمَمْ 􀑧 جٍ فَ 􀑧 انِيَ حِجَ 􀑧 أْجُرَنِي ثَمَ 􀑧 ى أَنْ تَ 􀑧 اتَيْنِ عَلَ 􀑧 يَّ هَ 􀑧 دَى ابْنَتَ 􀑧 كَ إِحْ 􀑧 دُ أَنْ أُنْكِحَ 􀑧 قَالَ إِنِّي أُرِي
( عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ (القصص: 27
Artinya: "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu" (QS. Al-Qashash:
27).
Dalil lain bolehnya kerja dijadikan sebagai shadaq, mas kawin adalah hadits berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((اذهب, فقد أنكحتكها بما معك من القرآن)) [رواه
البخارى]
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
4
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pergilah sesungguhnya saya telah menikahkan kamu
dengannya dengan apa ayat-ayat al-Qur'an yang kamu hapal" (HR. Bukhari).
Sebagian ulama menakwilkan kata bima ma'aka minal qur'an dengan akan mengajarkan
satu atau beberapa surat dari al-Qur'an.
3. Membebaskan budak.
Menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad-Dhahiry, bahwa membebaskan
budak dapat dijadikan sebagai mas kawin. Maksudnya, apabila seseorang hendak menikahi
seorang wainta yang masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan menjadikan
pembebasannya itu sebagai mas kawinnya, maka boleh-boleh saja.
Sedangkan menurut sebagian ulama lain, membebaskan budak tidak boleh dijadikan
sebagai mas kawin.
Dalil kelompok yang membolehkan adalah dalam sebuah hadits dikatakan bahwa
Rasulullah saw menikahi Shafiyyah dengan maskawin membebaskannya dari budak belian
menjadi seorang yang merdeka dan dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu
khusus untuk Rasulullah saw. Karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti
berlaku dan diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya termasuk kita. Hadits dimaksud adalah
sebagai berikut:
داقه ا)) 􀑧 ا ص 􀑧 ل عتقه 􀑧 فية وجع 􀑧 ق ص 􀑧 لم أعت 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 س : ((أن رس 􀑧 عن أن
[رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Dari Anas, bahwasannya Rasulullah saw membebaskan Shafiyyah dan menjadikan
pembebasannya itu sebagai mas kawinnya" (HR. Bukhari Muslim).
Sedangkan bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus untuk
Rasulullah saw saja. Artinya, mas kawin dengan membebaskan budak itu hanya diperbolehkan
untuk Rasulullah saw saja dan tidak yang lainnya.
Namun demikian, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat yang membolehkan
karena sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak ada keterangan dan dalil lain yang mengatakan
bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah saja. Karena tidak ada keterangan yang mengkhususkan
itulah, hukum yang dikandung dalam hadits di atas berlaku umum termasuk juga untuk ummatnya.
4. Masuk Islam.
Bolehkah seorang laki-laki masuk Islam lalu masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas
kawin? Para ulama berbeda pendapat. Bagi Jumhur ulama, masuk Islamnya seseorang boleh
dijadikan mas kawin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:
لمت أم 􀑧 لام , أس 􀑧 ا الإس 􀑧 ا بينهم 􀑧 داق م 􀑧 ان ص 􀑧 ليم , فك 􀑧 ة أم س 􀑧 و طلح 􀑧 زوج أب 􀑧 ال : ((ت 􀑧 عن أنس ق
ان 􀑧 لم فك 􀑧 ك , فأس 􀑧 لمت نكحت 􀑧 إن أس 􀑧 لمت , ف 􀑧 د أس 􀑧 ى ق 􀑧 ت : إن 􀑧 ا, فقال 􀑧 ة فخطبه 􀑧 سليم قبل أبى طلح
صداق ما بينهما)) [أخرجه النسائى]
Artinya: Anas berkata: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mas kawinnya adalah
masuk Islam (masuk Islamnya Abu Thalhah). Ummu Sulaim masuk Islam sebelum Abu Thalhah.
Kemudian Abu Thalhah meminangnya. Ketika meminangnya, Ummu Sulaim berkata: "Saya sudah
masuk Islam, jika kamu masuk Islam juga, maka saya siap menikah dengan kamu". Abu Thalhah
akhirnya masuk Islam dan masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas kawin keduanya" (HR.
Nasa'i).
Sedangkan ulama yang mentidakbolehkan masuk Islamnya seseorang dijadikan mas kawin
adalah Ibnu Hazm. Ibnu Hazm memberikan catatan penting untuk hadits di atas dengan
mengatakan:
Pertama, kejadian dalam hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum hijrah ke Madinah,
karena Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah saw dari golongan Anshar yang masuk Islam
paling awal. Dan pada saat itu, belum ada kewajiban mahar bagi wanita yang hendak dinikahi.
Kedua, dalam hadits di atas juga tidak disebutkan bahwa kejadian itu diketahui oleh
Rasulullah saw. Karena tidak diketahui oleh Rasulullah saw, maka posisinya tidak mempunyai
ketetapan hokum, karena Rasulullah saw tidak mengiyakannya juga tidak melarangnya. Karena
tidak ada kepastian hokum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada asalnya, bahwa ia tidak bisa
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
5
dijadikan sebagai mas kawin.
Berapa batas minimal dan maksimal mas kawin itu?
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal bagi seorang laki-laki dalam
memberikan mas kawinnya. Ia boleh memberikan jumlah yang sangat besar atau lebih besar lagi. Dalam
hal ini Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam bukunya Majmu al-Fatawa: 32/195): "Bagi orang yang
memiliki kelapangan rezeki kemudian ia bermaksud memberikan mas kawin dalam jumlah yang sangat
besar, maka tidak mengapa dan boleh-boleh saja sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat an-
Nisa ayat 20:" …Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (isteri-isteri) harta
yang banyak…". Adapun bagi orang yang tidak cukup lapang untuk memberikan mas kawin dalam
jumlah yang banyak, lalu ia memaksakan diri memberikannya karena alasan gengsi atau yang lainnya,
maka hukumnya adalah makruh".
Sedangkan mengenai batas minimal mas kawin, para ulama mengatakan bahwa berapa saja
jumlahnya selama itu berupa harta atau hal lain yang disamakan dengan harta dan disetujui serta direlakan
oleh si calon mempelai wanita, maka hal demikian boleh-boleh saja. Pendapat ini adalah pendapat Jumhur
ulama seperti Imam Syafi'I, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Imam Auzai dan lainnya. Bahkan Ibn Hazm
membolehkan kurang dari itu. Ibn Hazm mengatakan bahwa setiap hal yang dapat dibagi dua, boleh
dijadikan mas kawin sekalipun ia berupa biji gandum selama ada kerelaan dari calon isteri. Dalil yang
mengatakan bahwa tidak ada batas minimal dalam mas kawin ini adalah berikut ini:
1. Keumuman dari ayat berikut ini:
( وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ (النساء: 24
Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina" (QS. An-Nisa: 24).
Kata "harta" dalam ayat di atas mencakup harta yang sedikit juga harta yang banyak. Dalam
ayat di atas juga tidak disebutkan berapa batasa minimal mas kawin, dan karena tidak dijelaskan batas
minimalnya itulah, maka boleh dengan berapa saja selama ada keridhaan dari si calon isteri.
2. Hadit berikut ini di mana Rasulullah saw berkata kepada laki-laki yang siap menikahi seorang wanita
yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah saw, namun Rasulullah saw tidak
berkeinginan menikahinya:
و 􀑧 ب ول 􀑧 ب فاطل 􀑧 ال : ((اذه 􀑧 ال : لا, ق 􀑧 ىء؟ ق 􀑧 ن ش 􀑧 ك م 􀑧 ل مع 􀑧 لم : ه 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ي ص 􀑧 قال النب
خاتما من حديد)) [أخرجه مسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas kawinnya?" Lakilaki
itu menjawab: "Tidak" Rasulullah saw bersabda kembali: "Carilah sekalipun sebuah cincin dari
besi" (HR. Muslim).
Dalam hadits di atas juga tegas bahwa mahar boleh dengan apa saja selama ia berupa harta
termasuk sekalipun berupa cincin besi.
Mas Kawin yang berlebihan dan memberatkan.
Bagaimana pandangan hukum Islam tentang mas kawin yang sangat memberatkan dan berlebihan /
mahal? Mungkin untuk konteks Indonesia hal ini tidak banyak terjadi mengingat di Indonesia, mas kawin
umumnya sederhana dan tidak mahal. Namun, untuk konteks Negara-negara arab semisal Mesir, Saudi
Arabia dan yang lainnya, mahar sangatlah mahal dan memberatkan kaum laki-laki. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan apabila umumnya kaum laki-laki menikah di atas kepala tiga (umumnya menikah
setelah usia 35 tahun), karena mereka harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin demi membayar
mahar yang sangat mencekik. Sebaliknya, akibat mahar yang mahal ini, banyak gadis-gadis tua belum
menikah. Yang terjadi? Mereka gadis-gadis tua "siap" menjadi isteri-isteri kedua, ketiga bahkan isteri
simpanan. Bukan hanya itu, dengan mahalnya mahar dan biaya pernikahan ini, banyak terjadi pernikahan
Urfi di kalangan anak-anak muda sebagaimana telah disinggung dalam makalah sebelumnya.
Meski di Negara Indonesia, persoalan mahalnya mas kawin tidak menjadi masalah, akan tetapi di
bebeapa tempat dan daerah, umumnya juga sama dengan adat Arab, mahalnya mas kawin. Untuk itu, mari
kita sama-sama perhatikan bagaimana Islam melihat masalah di atas.
1. Hal paling pertama yang harus ditegaskan di sini, bahwa dalam ajaran Islam, pada dasarnya mas kawin
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
6
itu tidak boleh memberatkan ia harus ringan dan memudahkan. Perhatikan hadits-hadits berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((خير الصداق أيسره)) [رواه الحاآم]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling meringankan" (HR.
Imam Hakim).
داقه 􀑧 عن عائشة لما سئلت : آم آان صداق رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت : ((آان ص
ه )) 􀑧 ول الله لأزواج 􀑧 داق رس 􀑧 ذا ص 􀑧 لأزواجه ثنتى عشرة أوقية ونش ا, فتلك خمسمائة درهم, فه
[رواه مسملم]
Artinya: Dari Siti Aisyah ketika ditanya, berapa mas kawin Rasulullah saw? Siti Aisyah menjawab:
"Mas kawin Rasulullah saw kepada isteri-isterinya adalah dua belas setengah Uqiyah (nasya' adalah
setengah Uqiyah) yang sama dengan lima ratus dirham. Itulah mas kawin Rasulullah saw kepada
isteri-isterinya" (HR. Muslim).
اآم 􀑧 داق ا)) [رواه الح 􀑧 سرهن ص 􀑧 ة أي 􀑧 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((أعظم النساء برآ
والبيهقى]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling ringan
mas kawinnya" (HR. Hakim dan Baihaki).
Demikian juga dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa mas kawin tersebut
dengan cincin dari besi, masuk Islam dan membebaskan budak. Semua ini menunjukkan bahwa mas
kawin yang paling baik adalah yang ringan tidak memberatkan. Bahkan, dalam hadits di atas
disebutkan, mas kawin yang ringan akan membuat rumah tangganya lebih berkah dan langgeng.
2. Apabila si calon suami berada dalam kelapangan rizki, dan kaya, maka sebaiknya ia memperbanyak
mas kawinnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Shahih riwayat Imam Abu Daud
dan Nasai bahwa Raja Najasyi pernah menikahkan Rasulullah saw dengan Ummu Habibah dengan
mas kawin empat ribu dirham, padahal mas kawin Rasulullah saw dengan isteri-isterinya yang lain
tidak lebih dari 400 dirham.
Ini menunjukkan bahwa apabila calon suaminya memang orang yang kaya, maka sebaiknya
memberikan mahar yang besar, namun apabila tidak mampu dan miskin, maka tidak boleh
memberatkan dan tidak boleh terlalu memaksakan diri. Hadits di atas juga sebagai dalil bahwa mas
kawin boleh bersumber dari pemberian seseorang, tidak mesti dari usaha sendiri, sebagaimana dalam
hadits di atas, mas kawin Rasulullah saw dibayarkan oleh Raja Najasyi.
Mas kawin adalah hak si perempuan bukan hak walinya.
Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon mempelai wanita dan bukan hak
wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya. Namun, tidak
mengapa apabila si wanita tersebut berunding dengan walinya untuk menentukan berapa besarnya mas
kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan si wanita.
Apabila si wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga menentukan jumlah
tertentu, maka yang diambil adalah ucapan si wanita. Oleh karena mahar adalah hak si wanita, maka si
wali ataupun yang lainnya tidak boleh mengambil seluruh atau sebagian jumlah mahar tersebut tanpa ada
izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa seorang suami
tidak boleh membayar mahar kecuali kepada isterinya atau kepada orang yang diwakilkan oleh isterinya.
Di antara dalil bahwa mahar itu adalah hak si calon mempelai wanita adalah:
.( وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (النساء: 4
Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya"
(QS. An-Nisa: 4).
.( فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً (النساء: 24
Artinya: "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban" (QS. An-Nisa: 24).
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
7
Macam-macam mahar
Dari segi jumlah dan besar nilainya, mahar terbagi kepada dua bagian: Musamma (yang
disebutkan, diucapkan) dan Ghair Musamma (tidak disebutkan). Sedangkan dari segi waktu
pembayarannya, mahar terbagi kepada Mu'ajjal / معجل (dibayar kontan saat itu juga) dan Muajjal / ل􀑧 مؤج
(ditangguhkan, dibayar setengahnya dahulu dan sisanya dibayar belakangan).
Sementara dari segi besar atau jumlah mahar yang berhak dimiliki oleh si isteri, mahar terbagi
kepada mahar al-kull (mas kawin di mana si isteri harus mendapatkan semua mahar), mahar an-nishf (si
isteri hanya berhak mendapatkan setengah dari jumlah mahar) dan al-mut'ah (pemberian biasa bagi setiap
wanita yang ditalak sebagai hadiah atau hibah).
Mahar Musamma dan Mahar Ghair Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu
Mahar Mutsamma adalah mahar yang disebutkan. Maksudnya, antara si wanita dan si calon
suaminya berunding untuk menentukan berapa jumlah mas kawinnya. Apabila kedua belah pihak sepakat
dengan jumlah tertentu, misalnya mahar yang diminta oleh wanita sebesar satu juta, dan si laki-laki siap
memenuhinya, maka mahar tersebut disebut dengan Mahar Mutsamma karena si isteri menentukan
jumlah mas kawinnya secara jelas dan tegas. Penentuan ini penting dilakukan, agar tidak terjadi
pertentangan, perselisihan dan ribut di kemudian hari. Apabila si calon suami telah menyanggupi untuk
memenuhi mahar yang diminta oleh si wanita tersebut, maka si laki-laki wajib membayarnya secara penuh
dan sempurna tidak boleh kurang sedikit pun.
Sedangkan apabila si wanita tidak menentukan berapa jumlah maharnya secara tegas, misalnya ia
mengatakan: "Neneng mah terserah aa saja, berapa juga mahar yang aa berikan, neneng mah akan
terima yang penting aa sayang sama neneng", maka mahar tersebut disebut Mahar Ghari Musamma atau
Mahar al-Maskut 'Anhu. Ketika si isteri tidak menentukan jumlah nominal maharnya, maka si calon suami
harus membayar Mahar Mitsil.
Mahar Mitsil secara bahasa berarti mahar yang sebanding atau yang sama. Maksudnya, si calon
suami harus melihat berapa besar mas kawin yang diterima oleh bibi atau tante si wanita tersebut dari
pihak ayahnya, atau berapa mas kawin yang diterima oleh bibi bapak wanita tersebut. Apabila misalnya
tante dari pihak bapaknya ketika menikah dahulu menerima mas kawin sebesar satu juta rupiah, maka si
calon suami pun harus membayar mas kawin untuk wanita tersebut minimal sebesar satu juta rupiah.
Apabila, si wanita tersebut tidak mempunyai bibi dari pihak ayahnya, maka si calon suami tersebut
harus melihat berapa umumnya besar mas kawin yang berlaku di daerah tersebut. Apabila di daerah
tersebut umumnya jumlah mas kawin itu 500 ribu rupiah, maka si calon suami harus membayarnya
minimal sebesar 500 ribu rupiah. Mengapa harus disamakan dengan bibi atau daerah setempat? Hal ini
agar tidak terjadi saling olok, atau merasa direndahkan dan tidak dihargai. Terutama apabila si isteri nanti
ngobrol sama keluarga atau teman-teman wanita sekampungnya dan ditanya jumlah mas kawin yang
diterimanya, maka apabila mas kawin yang diterimanya sama dengan mereka, tentu tidak akan
menimbulkan perasaan rendah diri atau minder.
Dalam akad nikah, mas kawin boleh tidak disebutkan, apabila ditakutkan pamer atau riya.
Misalnya ketika akad nikah ia hanya mengatakan: "Saya terima pernikahan putri Bapak yang bernama
Siti Karomah". Pernikahan yang tidak disebutkan mas kawinnya ketika akad nikah, dalam istilah fiqih
disebut dengan Nikah Tafwidh dan menurut Ijma para ulama sah serta boleh-boleh saja.
Mahar Mu'ajjal dan Mahar Muajjal
Mahar Mu'ajjal adalah mahar yang dibayar secara kontan semuanya sebelum suami isteri itu
melakukan hubungan badan (dukhul). Umumnya mahar ini diserahkan ketika akad nikah atau setelah akad
nikah dengan catatan keduanya belum berhubungan badan.
Sedangkan apabila mahar tersebut dihutang atau dibayar sebagian ketika akad dan sisanya dibayar
belakangan setelah berhubungan badan atau setelah berumah tangga, maka mahar ini disebut Mahar
Muajjal (mahar yang ditangguhkan). Mahar Muajjal diperbolehkan dengan catatan ada keridhaan dan
idzin dari calon mempelai wanita. Apabila mahar itu ditangguhkan, maka sisa mahar yang belum dibayar
menjadi hutang bagi si laki-laki dan harus dibayar sampai kapanpun.
Kedua mahar di atas sah-sah saja, hanya lebih utama dilakukan mahar mu'ajjal, yakni dibayar
ketika akad sebelum keduanya menikmati malam pertama. Hal ini didasarkan pada dalil berikut ini:
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
8
( وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ (الممتحنة: 10
Artinya: "Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya" (QS.
Al-Mumtahanah: 20).
Demikian juga dengan hadits berikut ini ketika Ali bin Abi Thalib menikahi putri Rasulullah saw,
Siti Fatimah, Rasulullah saw bersabda:
ي 􀑧 ي : ه 􀑧 ال عل 􀑧 ة؟ ق 􀑧 ك الحطمي 􀑧 أين درع 􀑧 ال : ف 􀑧 ىء , ق 􀑧 ن ش 􀑧 دى م 􀑧 ا عن 􀑧 ال : م 􀑧 يئ ا. فق 􀑧 ا ش 􀑧 قال له : اعطه
عندى فقال: فأعطها إياها)) [أخرجه أبو داود والنسائي]
Artinya: Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib: "Berikanlah sesuatu kepadanya (sebagai mas
kawin)?" Ali menjawab: "Saya tidak mempunyai sesuatu apapun". Rasulullah saw bersabda kembali:
"Mana baju besimu yang telah retak itu?" Ali menjawab: "Ini ada pada saya". Rasulullah saw bersabda
kembali: "Berikanlah kepadanya (kepada Fathimah bint Rasulullah saw)" (HR. Abu Dawud dan Imam
Nasai).
Kedua keterangan di atas merupakan di antara dalil lebih utamanya membayar mas kawin mu'ajjal,
sesegera mungkin sebelum dukhul.
Pertanyaan sekarang, apabila mahar itu muajjal, yakni sebagiannya dibayar kontan dan
sebagiannya lagi ditangguhkan, kapan pembayaran sisa maharnya yang ditangguhkan itu?
Pembayaran sisa maharnya itu tergantung kesiapan si laki-laki ketika akad atau sebelum akad
nikah dahulu. Apabila sebelum akad atau ketika akad, si laki-laki menyebutkan waktu tertentu untuk
membayar sisa mahar misalnya ia mengatakan bahwa sisa maharnya akan dibayar setahun setelah
pernikahan, maka sisa mahar tersebut harus dibayar persis setelah waktu setahun pernikahan, karena itu
yang diucapkan ketika akad nikah. Dan para ulama sepakat bahwa maharnya sah.
Namun apabila, dalam akad nikah atau sebelum akad nikah ia tidak menyebutkan waktu tertentu
untuk membayar sisa maharnya itu, misalnya dia mengatakan: "Sisa maharnya akan saya bayar sampai
saya betul-betul ada cukup uang", maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Menurut Syafi'iyyah, mahar tersebut batal karena dipandang majhul, tidak jelas waktu pembayaran
sisanya; kapan dia memiliki cukup uangnya itu? Ini jelas masih belum jelas dan tidak tegas. Karena
maharnya batal, maka ia harus membayar mahar mitsil. Misalnya, apabila si suami dan si wanita sepakat
dengan mahar satu juta, kemudian si suami membayar setengahnya yakni 500 ribu ketika akad dan sisanya
ia tangguhkan, namun, tidak menyebutkan waktu tertentu pembayarannya, maka menurut Syafi'iyyah,
mahar yang disepakati tadi tidak sah dan harus dibatalkan. Sebagai gantinya, si suami harus membayar
mahar mitsil.
Sedangkan menurut Malikiyyah, apabila ketika akad nikah si laki-laki tidak menyebutkan waktu
tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, atau menyebutkan waktu tertentu tapi ia mengatakan: "sampai
isteri saya meninggal atau sampai terjadi perceraian", maka akadnya menjadi tidak sah. Namun, apabila
si suami tersebut telah mendukhul (menyetubuhi) isterinya, maka si suaminya harus membayar mahar
mitsil.
Adapun menurut Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah, mahar muajjal yang tidak disebutkan waktu
tertentu untuk membayar sisa maharnya ketika akad atau sebelum akad, sah-sah saja. Dan waktu
pembayaran sisanya ditangguhkan sampai salah satunya meninggal dunia atau terjadi perceraian.
Pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah inilah, hemat penulis, pendapat yang lebih rajih (lebih kuat)
dibandingkan dengan pendapat-pendapat lainnya. Dan pendapat Hanafiyyah serta Hanabilah ini
diterapkan hampir di seluruh Negara-negara Arab termasuk di Mesir.
Untuk konteks Mesir yang hokum perundang-undangan mengenai pernikahannya berdasarkan
madzhab Hanafi sebagaimana telah disinggung dalam makalah sebelumnya, bagi para calon suami yang
ekonominya pas-pasan, umumnya lebih memilih mahar muajjal. Dalam prakteknya, setengah mahar
dibayar sebelum dukhul (bersenggama) atau ketika akad nikah dan setengahnya lagi ditangguhkan dan
dibayarkan ketika nanti terjadi perceraian atau salah satu pihak ada yang meninggal. Mahar Muajjal ini
di Indonesia jarang terjadi mengingat maharnya yang ringan dan tidak memberatkan. Umumnya
masyarakat muslim Indonesia memilih mahar mu'ajjal, maharnya dibayar kontan sebelum dukhul.
Mahar Penuh (al-Kull) dan Mahar Setengahnya (an-Nishf).
Kapan seorang istri berhak mendapatkan mahar penuh? Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu penulis
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
9
jelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan mahar penuh ini.
Mahar penuh adalah mahar yang harus diterima oleh si isteri secara penuh, seluruhnya sesuai
dengan kesepakatan bersama antara si wanita dengan laki-laki. Misalnya, apabila si suami akan
memberikan mahar kepada isterinya itu satu juta rupiah, maka yang dimaksud dengan mahar penuh adalah
si isteri harus mendapatkan mas kawin sebesar satu juta tanpa dikurangi sedikitpun. Setelah jelas maksud
dari mahar penuh ini, kini mari kita bahas bersama kapan seorang istri berhak mendapatkan mahar penuh
itu?
Seorang isteri berhak mendapatkan mahar penuh apabila dalam keadaan berikut ini:
1. Apabila si isteri telah disetubuhi.
Para ulama sepakat bahwa apabila si isteri telah digauli oleh suaminya, maka ia berhak
mendapatkan mahar penuh. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini dalam surat an-Nisa
ayat 20-21:
يْئًا 􀑧 هُ شَ 􀑧 ذُوا مِنْ 􀑧 ا تَأْخُ 􀑧 ارًا فَلَ 􀑧 دَاهُنَّ قِنْطَ 􀑧 تُمْ إِحْ 􀑧 انَ زَوْجٍ وَءَاتَيْ 􀑧 تِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَ 􀑧 مُ اسْ 􀑧 وَإِنْ أَرَدْتُ
نْكُمْ 􀑧 ذْنَ مِ 􀑧 أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينً ا* وَآَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِ لَى بَعْضٍ وَأَخَ
(21- مِيثَاقًا غَلِيظًا* (النساء: 20
Artinya: "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat"
(QS. An-Nisa: 20-21).
Apabila si suami tadi telah mendukhulnya lalu menceraikannya, maka si isteri berhak
mendapatkan mahar penuh, dan si suami tidak boleh meminta atau mengambil sedikitpun dari
mahar tersebut. Hal ini dikarenakan, dalam istilah para ahli fiqih (fuqaha), bahwa mahar itu
sebagai ganti dari telah disetubuhinya si isteri.
Demikian juga, apabila si isteri dinikahi oleh suaminya dengan pernikahan yang batal,
misalnya pernikahan tersebut tidak memakai wali padahal wali merupakan salah satu syarat sah
nikah, dan si isteri tersebut telah didukhul, maka tetap si isteri berhak mendapatkan mahar pernuh.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
ل — 􀑧 ا باط 􀑧 ا فنكاحه 􀑧 ر إذن وليه 􀑧 ت بغي 􀑧 رأة نكح 􀑧 ا ام 􀑧 لم : ((أيم 􀑧 ه وس 􀑧 قال النبي صلى الله علي
ه 􀑧 ن ماج 􀑧 و داود واب 􀑧 ه أب 􀑧 ا)) [أخرج 􀑧 ن فرجه 􀑧 تحل م 􀑧 ثلاثا—فإن دخل بها فلها المهر بما اس
وأحمد]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Wanita mana saja yang dinikahi tanpa ada idzin dari walinya,
maka pernikahannya adalah batal—beliau sebutkan hal itu sebanyak tiga kali—Apabila ia
menggauli isterinya itu, maka si isteri tersebut berhak mendapatkan mahar karena telah dihalalkan
kehormatannya" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Imam Ahmad).
Demikian pula para ulama telah sepakat bahwa si wanita berhak mendapatkan mahar penuh
apabila ia telah disetubuhi meski secara haram, misalnya yang disetubuhinya adalah duburnya,
atau disetubuhinya ketika haid, ketika nifas, ketika ihram, ketika puasa bulan Ramadhan atau
ketika itikaf. Apabila ia menyetubuhinya dalam kondisi di atas, maka haram hukumnya, namun
apabila si isteri kemudian dicerai, maka ia berhak mendapatkan mas kawin penuh, sekalipun yang
disetubuhinya bukan farjnya (vaginanya) tapi duburnya (anusnya).
2. Apabila salah satu dari suami isteri meninggal dunia sebelum keduanya melakukan
hubungan badan dan keduanya berada dalam pernikahan yang sah, bukan pernikahan
yang batal.
Untuk kondisi seperti ini, ada dua keadaan.
Pertama, apabila mahar tersebut disebutkan ketika akad (yakni si isteri menyebutkan
jumalah tertentu maharnya, Mahar Musamma), kemudian salah satunya meninggal dunia sebelum
keduanya melakukan hubungan badan, maka para ulama sepakat bahwa si isteri berhak
mendapatkan mahar penuh. Hal ini karena, kematian tidak dapat membatalkan akad nikah, akan
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
10
tetapi ia hanya dapat mengakhiri pernikahan saja. Karena tidak dapat membatalkan pernikahan
itulah, maka si isteri tetap berhak mendapatkan seluruh hak-haknya termasuk mahar.
Kedua, apabila maharnya tidak disebutkan ketika akad karena si isteri tidak menentukan
jumlah tertentu atau sering disebut dengan Nikah Tafwid (Mahar Ghair Musamma), kemudian
salah satunya meninggal dunia sebelum melakukan hubungan badan, maka para ulama dalam hal
ini berbeda pendapat.
Menurut Madzhab Hanafiyyah, Hanabilah dan Imam Syafi'I, maka si wanita tersebut
berhak mendapatkan mahar mitsil penuh. Di antara dalilnya adalah bahwa pernikahan adalah akad
yang dibatasi oleh umur. Dengan meninggalnya salah satu pihak, maka akad tersebut berakhir dan
si isteri berhak mendapatkan penggantinya yakni berupa mahar mitsil penuh.
Sedangkan menurut Malikiyyah dan sebagian ulama Syafi'iyyah, bahwa si wanita tersebut
tidak berhak mendapatkan sedikitpun dari mahar tersebut. Hal ini dikarenakan, si isteri belum
didukhul bahkan belum disentuh sedikitpun.
Hanya saja, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat pertama, bahwa si isteri
berhak mendapatkan semua mahar secara penuh. Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits berikut ini:
م 􀑧 ا, ول 􀑧 ات عنه 􀑧 م م 􀑧 ل ث 􀑧 ا رج 􀑧 رأة تزوجه 􀑧 ى ام 􀑧 سعود ف 􀑧 حديث علقمة قال : أتى عبد الله بن م
داق 􀑧 ل ص 􀑧 ا مث 􀑧 ال :((أرى له 􀑧 ه فق 􀑧 اختلفوا إلي 􀑧 ال : ف 􀑧 ا, ق 􀑧 ل به 􀑧 ن دخ 􀑧 م يك 􀑧 داقا ول 􀑧 يفرض لها ص
لى 􀑧 ي ص 􀑧 جعى : ((أن النب 􀑧 نان الأش 􀑧 نسائها, ولها الميراث وعليها العدة )) فشهد معقل بن س
و داود 􀑧 الله عليه وسلم قضى فى بروع ابنة واشق بمثل ما قضى )) [أخرجه الترمذى وأب
والنسائي وابن ماجه وأحمد]
Artinya: Alqamah berkata: "Ibnu Masud pernah mendatangi seorang wanita yang dinikahi oleh
seorang laki-laki kemudian suaminya ini meninggal dunia, sementara ia belum menyebutkan dan
belum membayar mahar kepada isterinya itu juga belum disetubuhinya. Alqamah berkata: Orangorang
berselisih pendapat. Lalu Ibn Mas'ud berkata: "Menurut saya, wanita itu berhak
mendapatkan mahar mitsil, dan ia juga berhak menerima harta waritsannya juga ia harus beriddah).
Maqal bin Sinan al-Asyja'I berkata: "Bahwasannya Rasulullah saw memutuskan masalah Barwa'
binti Wasyiq persis sama dengan apa yang telah diputuskan oleh Ibn Mas'ud" (HR. Abu Dawud,
Turmudzi, Nasai, Ibn Majah dan Imam Ahmad).
3. Antara suami isteri berdua-duaan di tempat sepi dan rahasia sekalipun keduanya belum
melakukan hubungan badan.
Apabila suami isteri setelah melakukan akad nikah berdua-duaan di tempat sepi seperti di
dalam kamar, di dalam rumah, tanpa ada orang lain selain mereka berdua, sehingga karena berduaduaannya
di tempat yang sangat sepi itu diperkirakan keduanya telah melakukan hubungan badan,
maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I dalam pendapat lamanya, Imam Ahmad bin
Hanbal dan yang lainnya, bahwa si wanita tersebut berhak mendapatkan seluruh mahar / mahar
penuh meskipun keduanya belum melakukan hubungan badan. Di antara dalil yang dijadikan
hujjahnya adalah:
ا, أو 􀑧 ق باب 􀑧 ن أغل 􀑧 ديون : أن م 􀑧 دون المه 􀑧 اء الراش 􀑧 ضى الخلف 􀑧 ال : ((ق 􀑧 ى ق 􀑧 ن أوف 􀑧 عن زرارة ب
أرخى ستراو فقد وجب المهر والعدة)) [أخرجه البيهقى بإسناد منقطع]
Artinya: Zararah bin Aufa berkata: "Para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Shidiq, Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) berfatwa bahwasannya barang siapa yang
menutup pintu atau menjulurkan penghalang, maka laki-lakinya wajib membayar mahar dan si
wanita harus beriddah" (HR. Imam Baihaki dengan sanad Munqathi).
رأة إذا 􀑧 ى الم 􀑧 ضى ف 􀑧 ه : (( ق 􀑧 ي الله عن 􀑧 اب رض 􀑧 ن الخط 􀑧 ر ب 􀑧 سيب أن عم 􀑧 ن الم 􀑧 عيد ب 􀑧 ن س 􀑧 ع
ى 􀑧 ك والبيهق 􀑧 ه مال 􀑧 صداق)) [أخرج 􀑧 ب ال 􀑧 د وج 􀑧 ستور فق 􀑧 ت ال 􀑧 ه إذا أرخي 􀑧 ل أن 􀑧 ا الرج 􀑧 تزوجه
بإسناد صحيح]
Artinya: Dari Said bin al-Musayyib bahwasannya Umar bin Khatab memutuskan untuk seorang
wanita apabila ia dinikahi oleh seorang laki-laki lalu dijulurkan kain penghalang, maka laki-laki itu
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
11
wajib membayar mas kawin" (HR. Malik dan Imam Baihaki dengan sanad yang shahih).
Pendapat kedua, bahwasannya ia tidak berhak mendapatkan mahar penuh kecuali betulbetul
yakin bahwa si wanita tersebut telah didukhulnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam
Malik, Imam Syafi'I dalam pendapatnya yang baru, Ibnu Taimiyyah serta yang lainnya.
Di antara dalil kelompok ini adalah:
تُمْ 􀑧 ا فَرَضْ 􀑧 صْفُ مَ 􀑧 ضَةً فَنِ 􀑧 نَّ فَرِي 􀑧 تُمْ لَهُ 􀑧 دْ فَرَضْ 􀑧 سُّوهُنَّ وَقَ 􀑧 لِ أَنْ تَمَ 􀑧 نْ قَبْ 􀑧 وهُنَّ مِ 􀑧 وَإِنْ طَلَّقْتُمُ
( (البقرة: 237
Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kamu tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).
Kata al-mass dalam ayat di atas ditafsirkan oleh kelompok ini dengan jima. Oleh karena
itu wanita yang ditalak sebelum disetubuhi, maharnya adalah setengahnya.
م 􀑧 ه ل 􀑧 زعم أن 􀑧 ا ف 􀑧 م طلقه 􀑧 ه ث 􀑧 ه امرأت 􀑧 ت علي 􀑧 ل إذا أدخل 􀑧 عن ابن عباس أنه آان يقول فى الرج
يمسها قال: عليه نصف الصداق)) [أخرجه سعيد بن منصور بإسناد ضعيف]
Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwasannya ia berkata tentang seorang laki-laki yang berdua-duaan
dengan isterinya dan diperkirakan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka Ibnu Abbas
berpendapat: "Laki-laki tersebut harus membayar setengah mahar" (HR. Said bin Mansur dengan
sanad yang lemah).
زم 􀑧 ن ح 􀑧 ا)) [رواه اب 􀑧 ين رجليه 􀑧 س ب 􀑧 صداق , وإن جل 􀑧 صف ال 􀑧 ا ن 􀑧 ال : ((له 􀑧 سعود ق 􀑧 عن ابن م
بإسناد منقطع]
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Si wanita berhak mendapatkan setengah mas kawin, sekalipun lakilaki
itu hanya duduk di antara dua kaki wanita tersebut" (HR. Ibn Hazm dengan sanad Munqathi).
Dari kedua pendapat di atas, hemat penulis, pendapat pertama yang mengatakan si wanita
berhak mendapatkan mahar penuh merupakan pendapat yang lebih kuat. Karena dalil-dalil yang
dikemukakan oleh kelompok kedua umumnya berupa hadits-hadits dhaif. Namun demikian,
penulis condong untuk menengahi kedua pendapat di atas dengan mengatakan bahwa apabila si
wanita tersebut mengaku betul-betul belum digauli dan dibuktikan dengan pemeriksaan kesehetan
(dokter), maka hemat penulis dapat dibenarkan dan karenanya si wanita hanya mendapatkan
setengah mahar saja. Namun, apabila ia betul-betul telah disetubuhi, maka ia berhak mendapatkan
seluruh mahar. Hal ini dikarenakan bahwa nash baik ayat al-Qur'an maupun hadits Nabi dengan
tegas mengatakan bahwa yang berhak mendapatkan seluruh mahar itu adalah wanita yang telah
disetubuhi. Sementara yang belum disetubuhi, ia berhak mendapatkan setengah mahar
sebagaimana akan dijelaskan di bawah nanti.
4. Si isteri tinggal selama setahun di rumah suaminya sekalipun tidak disetubuhinya.
Menurut Malikiyyah, apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita kemudian
ia tinggal di rumah suaminya selama satu tahun sekalipun tidak disetubuhi, lalu ia dicerai, maka ia
berhak mendapatkan seluruh mahar / mahar penuh. Hal ini menurut Malikiyyah, karena waktu satu
tahun merupakan sebuah praduga kuat bahwa ia secara umum pasti digauli. Namun, demikian
penulis tidak mengetahui alasan Malikiyyah dalam menentukan waktu satu tahunnya itu. Tidak ada
keterangan satu pun yang menjelaskan mengapa batasan waktunya adalah satu tahun.
5. Mentalak isteri ketika ia sakaratul maut dan belum didukhul.
Apabila seorang laki-laki menceraikan isterinya ketika laki-laki tersebut sakaratul maut,
mau mati, dan si isteri tersebut belum disetubuhinya, dengan maksud bahwa dengan ditalaknya, si
isteri tidak akan berhak mendapatkan harta warisannya, kemudian laki-laki itu meninggal, maka
menurut Hanabilah wanita tersebut berhak mendapatkan mahar penuh. Hal ini, menurut Hanabilah,
karena wanita tersebut diwajibkan memiliki masa iddah (masa menunggu, tidak boleh menikah
dahulu dan tidak boleh menerima pinangan dulu) selama empat bulan sepuluh hari. Karena ia
harus iddah itulah, maka si wanita tersebut sekalipun belum didukhul, tetap berhak mendapatkan
seluruh mahar.
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
12
Kapan si isteri berhak mendapatkan setengah mahar (an-Nishf)?
Apabila di atas telah dijelaskan kondisi-kondisi di mana seorang isteri berhak mendapatkan mahar
penuh, maka dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas kondisi di mana si isteri hanya berhak
mendapatkan setengah maharnya. Misalnya, apabila mahar yang disebutkan dan disepakati bersama antara
laki-laki dan wanita tersebut satu juta, maka untuk pembahasan kali ini si isteri hanya berhak
mendapatkan setengah maharnya, yakni sebesar 500 ribu rupiah. Kondisi dimaksud adalah: Apabila si
isteri dicerai sebelum didukhul (sebelum disetubuhi) dan maharnya ditentukan oleh si isteri atau
oleh si suami, juga disebutkan ketika akad.
Para ulama telah sepakat bahwa apabila si isteri telah dinikahi lalu dicerai sebelum disetubuhi juga
sebelum keduanya berdua-duaan (khalwah) di tempat sepi yang diperkirakan akan terjadinya hubungan
badan, maka si isteri berhak mendapatkan setengah mahar. Hal ini didasarkan kepada dalil berikut ini:
رة: 􀑧 تُمْ (البق 􀑧 ا فَرَضْ 􀑧 صْفُ مَ 􀑧 ضَةً فَنِ 􀑧 نَّ فَرِي 􀑧 تُمْ لَهُ 􀑧 دْ فَرَضْ 􀑧 سُّوهُنَّ وَقَ 􀑧 لِ أَنْ تَمَ 􀑧 نْ قَبْ 􀑧 وهُنَّ مِ 􀑧 وَإِنْ طَلَّقْتُمُ
(237
Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).
Demikian juga apabila ia berpisah bukan karena talak. Misalnya apabila ternyata pernikahan
tersebut masih ada ikatan darah dan keturunan, sehingga harus dipisahkan dan dibatalkan pernikahan
tersebut (dalam istilah fiqh disebut difasakh, dibatalkan) atau karena li'an, ila' (sebagaimana akan dibahas
dalam makalah berikutnya), dan si isteri belum didukhul, maka si isteri berhak mendapatkan setengah
mahar.
Namun, apabila mahar tersebut tidak disebutkan dan tidak ditentukan oleh si wanita (Mahar Ghair
Musamma), dan si wanita tersebut belum didukhul, juga keduanya belum berdua-duaan di tempat sunyi,
maka para ulama berbeda pendapat:
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I dan yang lainnya, si wanita tidak berhak mendapatkan
mahar sedikitpun, hanya saja ia wajib mendapatkan Mut'ah. Mut'ah adalah pemberian sejumlah uang dari
si suami kepada isterinya yang diceraikan yang jumlahnya tidak ditentukan tergantung kondisi masingmasing
si suami yang bersangkutan. Di antara dalil yang dikemukakan oleh madzhab ini adalah:
رة: 􀑧 تُ مْ (البق 􀑧 ا فَرَضْ 􀑧 صْفُ مَ 􀑧 ضَةً فَنِ 􀑧 نَّ فَرِي 􀑧 تُمْ لَهُ 􀑧 دْ فَرَضْ 􀑧 سُّوهُنَّ وَقَ 􀑧 لِ أَنْ تَمَ 􀑧 نْ قَبْ 􀑧 وهُنَّ مِ 􀑧 وَإِنْ طَلَّقْتُمُ
(237
Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).
عِ 􀑧 ى الْمُوسِ 􀑧 لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَ
( قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (البقرة: 236
Artinya: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Al-Baqarah: 236).
Juga firman Allah berikut ini:
نْ 􀑧 يْهِنَّ مِ 􀑧 مْ عَلَ 􀑧 ا لَكُ 􀑧 سُّوهُنَّ فَمَ 􀑧 لِ أَنْ تَمَ 􀑧 نْ قَبْ 􀑧 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِ
( عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (الأحزاب: 49
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya" (QS. Al-Ahzab: 49)
Mut'ah dalam ayat di atas maksudnya adalah pemberian dari si suami kepada isteri yang ditalak
yang kadar dan jumlahnya tidak ditentukan tergantung kondisi dan keadaan si suami. Istilah sekarang
sebagai uang penggembira. Menurut kelompok ini, si wanita yang diceraikan dan belum didukhul hanya
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
13
mendapatkan setengah mahar apabila dalam akad atau sebelum akad, maharnya disebutkan dan
ditentukan. Namun, apabila maharnya tidak disebutkan dan tidak ditentukan, maka ia tidak berhak
mendapat sedikitpun dari mahar tersebut. Hal ini dikarenakan dalam surat al-Baqarah ayat 237 di atas
disebutkan bahwa wanita yang dicerai sebelum didukhul berhak mendapatkan setengah mahar itu apabila
maharnya disebutkan atau ditentukan ketika akad atau sebelum akad. Apabila ia tidak disebutkan ketika
akad, maka wanita tidak termasuk dalam ayat di atas yang berhak mendapatkan setengah mahar. Hanya
saja, wanita tersebut wajib mendapatkan mut'ah, karena dia posisinya sebagai isteri yang ditalak dan
semua isteri yang ditalak berhak mendapatkan mut'ah.
Pendapat kedua mengatakan ia tidak mendapatkan setengah mahar juga tidak wajib memberi
mut'ah. Hanya saja, kalau si suami memberikan mut'ah, maka itu sunnah saja. Pendapat ini adalah
pendapatnya Imam Malik dan Imam Laits. Di antara dalil yang dikemukakannya adalah sebagai berikut:
رة : 􀑧 وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (البق
(236
Artinya: " Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut
yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Al-
Baqarah: 236).
Kelompok ini mengatakan, dalam ayat di atas, Allah menggunakan kata 'alal muhsinin', bagi
orang-orang yang baik, ini menunjukkan bahwa mut'ah, pemberian untuk wanita yang ditalak itu hanyalah
sebagai ihsan, kebaikan saja (sunnah saja) dan bukan wajib. Karena kalau ia wajib hukumnya, tentu tidak
akan menggunakan kata ihsan akan tetapi dengan kata lain yang lebih menunjukkan wajib seperti dengan
kata maktuban atau wajiban dan lainnya.
Hanya saja, pendapat ini dapat dibantah dengan mengatakan bukankah memberikan sesuatu yang
wajib juga itu sebuah kebaikan, ihsan? Oleh karena itu, kebaikan tidak mesti untuk hal yang sunnah saja
tapi juga yang wajib. Terlebih dalam ayat di atas Allah memerintahkannya dengan menggunakan shigat
fi'il amer, perintah. Dalam qaidah Ushul Fiqh dikatakan bahwa asal dalam perintah itu menunjukkan
kepada wajib selama tidak ada dalil lain yang memalingkannya. Dalam hal mut'ah ini, sepengetahuan
penulis, tidak ada keterangan satupun yang memalingkan dari kewajibannya. Untuk itu, memberikan
mut'ah kepada wanita yang ditalak hukumnya adalah wajib.
Pendapat ketiga mengatakan, bahwa wanita tersebut berhak mendapatkan setengah mahar mitsil.
Pendapat ini adalah pendapat keduanya Imam Ahmad bin Hanbal. Di antara dalilnya adalah karena ia
adalah sebuah pernikahan yang sah. Oleh karenanya ia wajib membayar mahar mitsil setelah didukhul.
Namun ketika ia ditalak sebelum didukhul, maka tentu wanita tersebut berhak mendapatkan setengah dari
mahar mitsil tersebut.
Pendapat yang penulis pandang lebih rajih adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa ia
hanya berhak mendapatkan mut'ah, tidak mendapatkan setengah mahar. Hal ini sekali lagi dikarenakan,
yang berhak mendapatkan setengah mahar itu, apabila wanita ditalak sebelum didukhul dengan catatan
maharnya sudah disebutkan dan ditentukan ketika akad ataupun sebelumnya sebagaimana disebutkan
secara sharih (jelas dan tegas) dalam surat al-Baqarah ayat 237 di atas.
Namun persoalannya kini, bagaimana apabila mahar tersebut tidak disebutkan ketika akad atau
sebelum akad, akan tetapi ketika sudah berumah tangga dan hidup bersama lalu keduanya sepakat
terhadap jumlah tertentu, atau si isteri menentukan jumlah tertentu dan si suami menyetujui serta
menyanggupinya, kemudian isteri tersebut diceraikan sebelum didukhul, apakah si wanita berhak
mendapatkan setengah mahar?
Menurut Hanafiyyah, si wanita tetap tidak dapat mendapatkan setengah mahar, hanya ia berhak
mendapatkan mut'ah saja. Hal ini dikarenakan penentuan jumlah setelah akad nikah dilangsungkan, tidak
dianggap sebagai Mahar Musamma, tidak dipandang sebagai penentuan mahar. Ia tetap dianggap tidak
menentukan mahar (mahar ghair musamma). Dan karenanya, ketika dicerai sebelum dukhul, ia tidak
berhak mendapatkan apa-apa dari maharnya, hanya mut'ah saja.
Sedangkan menurut Jumhur ulama, mas kawin yang ditentukan atau disepakati setelah akad
dipandang sebagai Mahar Musamma. Dan karena dipandang sebagai Mahar Musamma, maka apabila ia
diceraikan sebelum dukhul, si wanita berhak mendapatkan setengah maharnya. Hal ini dikarenakan kata:
'fanishfu ma faradhtum' (maka setengah dari apa yang telah kamu tentukan), bersifat umum untuk semua
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
14
pernikahan yang sah, baik ditentukan oleh orang yang menikah tersebut ketika akad, maupun setelah akad.
Dalam ayat di atas Allah tidak mengatakan: fanishfu ma faradhtum fi nafsil 'aqd (maka setengah dari
mahar yang telah ditentukan pada waktu akad), akan tetapi Allah menggunakan ta'bir yang muthlaq,
bebas dan tidak dibatasi oleh hal-hal tertentu. Karena ayat tersebut muthlak sifatnya (tidak dibatasi), maka
hukumnya pun muthlak, mencakup baik disebutkan dan ditentukan ketika akad maupun setelah akad.
Pendapat jumhur ini, hemat penulis, adalah yang lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu,
wanita yang ditalak sebelum didukhul dan mas kawinnya ditentukan atau disepakati bersama setelah akad
nikah berlangsung, maka si wanita berhak mendapatkan setengah maharnya.
Kapan mahar jatuh atau tidak mesti dibayar semuanya?
Berikut ini ada beberapa kondisi di mana apabila kondisi ini terjadi, maka si suami boleh tidak
membayar sisa maharnya atau semua maharnya, bahkan boleh meminta sebagian atau seluruh mahar yang
telah diberikannya. Kondisi-kondisi dimaksud adalah:
1. Apabila si isteri meminta untuk bercerai dari si suaminya sebelum keduanya melakukan
hubungan badan.
Misalnya, apabila si isteri masuk Islam sementara suaminya masih non muslim dan
keduanya belum melakukan hubungan badan, maka menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, si suami
boleh tidak membayar mahar. Atau si isteri meminta dicerai lantaran suaminya impotent atau ada
penyakit menular yang tidak bisa disembuhkan, atau karena si suaminya ternyata adalah saudara
sesusu wanita tersebut dan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka si suami tidak
mesti membayar mahar kepada si wanita tadi.
Bahkan menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, mereka tidak mengkhususkan
perceraian itu harus datang dari pihak isteri. Menurut mereka baik permintaan cerai itu datangnya
dari pihak suami ataupun isteri selama belum didukhul, maka hal demikian tidak mengharuskan
membayar Mahar Musamma atau Mahar Mitsil. Namun, hemat penulis, yang lebih rajih adalah
pendapat Syafi'iyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan bahwa perceraian tersebut datang dari
pihak isteri bukan dari pihak suami.
2. Apabila terjadi khulu' baik si isteri tersebut telah disetubuhi ataupun belum.
Khulu' adalah permintaan cerai dari pihak isteri. Khulu berbeda dengan talak. Apabila talak
berupa permohonan cerai dari pihak laki-laki, maka Khulu' perceraian akan tetapi datangnya dari
pihak isteri. Misalnya, apabila si suaminya sangat kikir, atau impotent atau tidak pernah shalat
wajib, suka berjudi, mabuk dan lainnya, maka si isteri boleh meminta agar si suami
menceraikannya dengan catatan si isteri harus membayar 'iwad, berupa sejumlah uang yang kirakira
cukup untuk dijadikan mas kawin baik besar maupun kecil—untuk pembahasan lebih lanjut
seputar Khulu' ini, akan dibahas dalam makalah khusus.
'Iwad atau uang ganti dalam Khulu' tidak mesti sama dengan jumlah mas kawin yang
diterimanya. Ia boleh membayar berapa saja selama hal itu layak dijadikan mas kawin. Dalam
prakteknya Khulu' ini terjadi seperti ini: Si wanita meminta suaminya agar menceraikannya karena
si isteri merasa tidak kuat dengan kelakuan si suaminya yang sering mabuk-mabuk dan tidak
pernah shalat. Lalu si suaminya setuju. Kedua suami isteri tersebut lalu pergi ke pengadilan, dan di
depan pengadilan si suami mengatakan: "Saya telah mengkhulu' kamu dengan uang ganti sebesar
500 ribu rupiah, misalnya". Setelah itu, si isteri memberikan uang sebesar 500 ribu rupiah sebagai
iwad dari khulu tersebut. Apabila shigat khulu telah diucapkan, maka ia dipandang telah bercerai.
Dalam peraturan perkawinan yang berlaku untuk ummat Islam di Indonesia, yaitu Kompilasi
Hukum Islam, khulu ini diistilahkan dengan Cerai Gugat. Cerai gugat adalah perceraian atas
permohonan si isteri dengan syarat si isteri harus membayarkan ganti rugi ('iwad) baik dengan
mengembalikan mas kawin yang pernah diterimanya dahulu maupun berapa saja jumlahnya
menurut kesepakatan dengan suaminya. Sedangkan perceraian atas keinginan si suami disebut
dengan Cerai Talak.
Apabila, si isteri meminta khulu kepada suaminya, baik si isteri tersebut telah disetubuhi
maupun belum, maka si suami tidak berkewajiban membayar mas kawin. Sisa mas kawin yang
belum dibayarnya dapat dijadikan iwad khulu oleh si isteri sehingga dengan demikian hutang sisa
mas kawin si laki-laki tersebut menjadi lunas, gugur dan jatuh. Apabila mahar dari si suaminya
sudah dibayar penuh, lalu si isteri berkehendak untuk khulu, maka sebaiknya ia mengembalikan
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
15
mas kawin suaminya itu. Apabila si isteri tidak mempunyai cukup uang untuk mengembalikan mas
kawin yang dahulu diterimanya, maka ia boleh dengan jumlah yang lebih kecil, selama ada
kerelaan dan keridhaan antara kedua belah pihak.
3. Ibra' (tanazul) dari semua mahar baik sebelum dukhul maupun setelah dukhul.
Ibra' secara bahasa berarti bebas atau berlepas. Sedangkan secara istilah, Ibra' mempunyai
beberapa bentuk dan istilah. Di antaranya, Ibra' terjadi apabila seorang bapak berkata kepada
suami anak perempuannya: "Talaklah anak saya dan kamu bebas dari mahar kamu yang belum
kamu bayar", lalu si suami mentalaknya, maka ia bebas (bari') dari mas kawin tersebut. Praktek
seperti ini disebut dengan Ibra'. Oleh karena itu, apabila seorang isteri atau walinya meminta si
suami untuk mentalaknya atau mengkhulu'nya dengan catatan apabila ia melakukannya maka
maharnya akan gugur dan tidak mesti dibayar, lalu si suami tersebut melakukannya
(menceraikannya), baik ia telah mendukhulnya maupun belum, maka mahar si suami jatuh dan
tidak mesti dibayar.
4. Si isteri menghibahkan atau membebaskan si suami dari pembayaran mahar.
Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dengan mahar dibayar
setengahnya dan setengahnya lagi di bayar setelah menikah, atau maharnya belum dibayar sama
sekali (ngutang), lalu setelah menikah si isteri menghadiahkan atau menghibahkan atau
membebaskan mas kawin tersebut karena, misalnya, merasa kasihan kepada suaminya, dan si
suaminya menerima pembebasan mahar tersebut, maka kewajiban mahar bagi si suami menjadi
gugur. Si suami tidak harus membayar mahar. Dengan catatan si isteri menghibahkannya itu dalam
keadaan normal, sehat, dewasa, tidak dipaksa dan betul-betul berdasarkan keinginannya sendiri.
Bagaimana apabila si isteri atau walinya membebaskan mas kawin?
Apabila si isteri ditalak oleh suaminya sebelum digauli sementara mas kawinnya sudah ditentukan
dan disebutkan ketika akad, maka si suami hanya wajib membayar setengah mahar. Bagaimana kalau
mahar yang setengah itu direlakan dan dihibahkan oleh si isteri atau oleh walinya untuk tidak dibayar,
apakah boleh?
Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita ikuti firman Allah swt berikut ini:
ونَ 􀑧 ا أَنْ يَعْفُ 􀑧 تُمْ إِلَّ 􀑧 ا فَرَضْ 􀑧 وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَ
ا 􀑧 هَ بِمَ 􀑧 نَكُمْ إِنَّ اللَّ 􀑧 ضْلَ بَيْ 􀑧 سَوُا الْفَ 􀑧 ا تَنْ 􀑧 وَى وَلَ 􀑧 رَبُ لِلتَّقْ 􀑧 وا أَقْ 􀑧 احِ وَأَنْ تَعْفُ 􀑧 دَةُ النِّكَ 􀑧 دِهِ عُقْ 􀑧 ذِي بِيَ 􀑧 وَ الَّ 􀑧 أَوْ يَعْفُ
( تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة: 237
Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan" (al-Baqarah: 237).
Berdasarkan ayat ini, maka si suami tidak berkewajiban membayar mahar yang setengah itu
apabila si isteri membebaskan mahar tersebut. Namun, persoalannya, dalam ayat di atas disebutkan bahwa
yang boleh membebaskan itu adalah alladzi biyadihi 'uqdatun nikah (orang yang memegang ikatan nikah).
Siapakah yang dimaksud dengan 'orang yang memegang ikatan nikah itu?'
Para ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan
biyadi uqdatun nikah dalam ayat di atas adalah wali perempuan. Oleh karena itu, seorang suami baru
boleh tidak membayar setengah mahar bagi isterinya yang ditalak sebelum didukhul itu, apabila
dibebaskannya oleh wali nikah perempuan, bukan oleh perempuannya sendiri.
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan biyadihi uqdatun nikah itu adalah
isterinya (perempuannya) itu sendiri. Oleh karena itu, apabila si suami tersebut dibebaskan oleh isterinya
untuk membayar mahar yang setengah itu, maka mahar tersebut menjadi gugur dan tidak mesti dibayar.
Namun, apabila yang menggugurkannya adalah si wali, ia tidak dianggap selama belum ada kesepakatan
dari si isterinya.
Namun, hemat penulis, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua. Hal ini dikarenakan
bahwa mahar itu, sebagaimana telah dipaparkan di atas, adalah hak wanita bukan hak walinya.
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
16
Mahar at-Talji'ah ( (مهر التلجئة
Apabila keluarga si calon mempelai wanita meminta si calon mempelai laki-laki untuk
menyebutkan dua mahar yang berbeda antara mahar ketika akad dan mahar ketika diumumkan kepada
orang-orang dengan maksud untuk kebanggaan atau pamer, maka dalam istilah fiqh disebut mahar at-
Talji'ah. Maksudnya ada dua mahar yang berbeda. Misalnya, mahar asli yang akan dibayar adalah satu
juta rupiah, namun ketika akad ia menyebutkan bahwa maharnya 5 juta rupiah dengan maksud untuk
pamer dan jaga gengsi, maka mahar seperti ini disebut mahar at-Talji'ah. Persoalannya, mana yang harus
dibayar oleh si suami, apakah mahar asli atau yang diumumkan?
Para ulama berbeda pendapat, namun menurut pendapat jumhur ulama, dan ini yang paling rajih,
bahwa yang dianggap dan dipandang sah serta harus dibayar itu adalah mahar yang asli bukan mahar
untuk pamer dan jaga gengsi, karena mahar asli itulah yang diniatkan. Oleh karena itu, dalam contoh di
atas, si suami harus membayar mahar tersebut kepada calon isterinya adalah sebesar satu juta rupiah.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Taimiyyah.
Hukum Hiba' ( (الحباء
Hiba' adalah persyaratan dari salah seorang keluarga atau wali si perempuan agar si calon suami
tersebut membayar sejumlah uang untuk dirinya. Misalnya, apabila maharnya sudah jelas 1 juta rupiah,
akan tetapi bapak atau ibu atau kakak dari wanita tersebut meminta uang kepada calon mempelai laki-laki
tersebut sebesar 500 ribu untuk dirinya sendiri, maka praktek ini dalam istilah fiqh disebut dengan Hiba.
Atau dalam istilah adat di sebagian daerah di Indonesia sering disebut "uang ngelangkah". Biasanya 'uang
langkah' ini diberikan manakala seorang wanita akan menikah sementara ia masih mempunyai kakak baik
laki-laki dan terutama wanita yang belum menikah, maka biasanya si kakaknya ini meminta uang
pelangkah kepada calon suami adiknya. Hal demikian dalam istilah fiqh disebut dengan Hiba'.
Persoalannya sekarang, bagaimana hukumnya menurut ajaran Islam? Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa Hiba' boleh-boleh saja dengan catatan yang meminta Hiba'
tersebut hanyalah Bapak saja dan tidak yang lainnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Hanafiyyah,
Hanabilah dan sebagian ulama Syafi'iyyah. Hal ini didasarkan kepada ayat berikut ini tentang pernikahan
Nabi Musa dengan salah satu putri Nabi Syuaib:
شْرًا 􀑧 تَ عَ 􀑧 إِنْ أَتْمَمْ 􀑧 جٍ فَ 􀑧 انِيَ حِجَ 􀑧 أْجُرَنِي ثَمَ 􀑧 ى أَنْ تَ 􀑧 اتَيْنِ عَلَ 􀑧 يَّ هَ 􀑧 دَى ابْنَتَ 􀑧 كَ إِحْ 􀑧 قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَ
( فَمِنْ عِنْدِكَ (القصص: 27
Artinya: "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu
cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu" (QS. Al-Qashash: 27).
Dalam ayat ini, yang mensyaratkan mas kawin dengan bekerja adalah Nabi Syuaib yang
merupakan bapak dari putrinya yang akan dinikahi. Oleh karena itu, yang boleh meminta Hiba' itu
hanyalah bapak.
Demikian juga dengan dalil berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أنت ومالك لأبيك
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu".
Pendapat kedua mengatakan, apabila Hiba' itu disyaratkan ketika akad nikah, maka hartanya
menjadi milik si isteri. Akan tetapi apabila sebelum atau sesudah akad nikah, maka Hiba' tersebut milik si
bapak. Pendapat ini adalah pendapatnya Madzhab Malik, Imam Tsaury dan yang lainnya. Hal ini
didasarkan kepada hadits berikut ini:
رأة 􀑧 ا ام 􀑧 ال : ((أيم 􀑧 لم ق 􀑧 ه و س 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رس
اح 􀑧 صمة النك 􀑧 د ع 􀑧 ان بع 􀑧 ا آ 􀑧 ا, وم 􀑧 و له 􀑧 نكحت على صداق أو حباء أو عدة قبل عصمة النكاح فه
سند 􀑧 سائي ب 􀑧 و داود والن 􀑧 ه أب 􀑧 ه )) [أخرج 􀑧 ه وأخت 􀑧 ل ابنت 􀑧 ه الرج 􀑧 فهو لمن أعطيه , وأحق ما يكرم علي
حسن]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang menikah dengan memakai mas kawin
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
17
atau pemberian Hiba' sebelum akad nikah (maksudnya ketika akad nikah), maka pemberian tersebut buat
si wanita. Namun apabila diberikan setelah akad nikah, maka pemberian tersebut untuk orang yang
diberinya. Orang yang paling berhak dihormati dan diberi oleh laki-laki adalah putri nya dan saudari
perempuannya" (HR. Abu Daud dan Nasai dengan hadits Hasan).
Pendapat ketiga mengatakan, bahwa Hiba' itu tidak boleh kepada siapa saja karena itu merusak
mahar. Pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi'i.
Dari berbagai pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengatakan bahwa pemberian Hiba'
sah-sah saja sekalipun bukan untuk si bapak selama hal itu tidak memberatkan calon mempelai laki-laki,
misalnya, untuk kakaknya, atau adiknya, atau ibunya. Oleh karena itu, calon mempelai wanita boleh-boleh
saja meminta kepada calon suaminya misalnya dengan mengatakan: "Aa, tolong kalau bisa bapak saya
dikasih uang penggembira satu juta rupiah" Atau dengan mengatakan: "Aa, saya kan masih mempunyai
kakak perempuan yang belum menikah, tolong kasih dia sebagai uang pelangkah berapa saja yang aa
mampu yah minimal 3 juta", misalnya. Maka hal itu boleh-boleh saja selama tidak memberatkan si calon
mempelai laki-laki. Atau dengan tanpa diminta oleh calon isterinya, si calon mempelai laki-laki sebaiknya
lebih memahami hal itu. Hal ini sah-sah saja dengan maksud untuk menghormatinya dan sebagai, dalam
istilah sunda, "tanda pangjajap", "uang pengantar" atau uang untuk lebih mempererat silaturahmi dan
ikatan kekeluargaan.
Siapakah yang wajib menyiapkan peralatan rumah tangga?
Sebagaimana telah menjadi maklum, bahwa dalam tradisi atau adat kebiasaan yang berlaku
umumnya di masyarakat Indonesia, bahwa seorang suami di samping harus mempersiapkan mahar, juga ia
seringkali mempersiapkan uang untuk membeli peralatan rumah tangga seperti kasur, kursi, ranjang dan
lainnya. Untuk konteks Mesir tentu hal ini sudah menjadi keharusan. Bahwa seorang laki-laki yang
hendak menikah, ia harus sudah mempunyai syaqah (flat, rumah) berikut seluruh isinya dan peralatannya.
Bagaimana Islam melihat hal ini? Siapakah sesungguhnya yang berhak menyiapkan hal itu?
Jumhur Ulama di antaranya Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin Hanbal dan
lainnya berpendapat bahwa seorang wanita tidak wajib untuk mempersiapkan segala peralatan rumah
tangga, dan sebaliknya, seorang suamilah yang seharusnya mempersiapkan rumah berikut segala isi dan
peralatannya (tentu sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik melalui membeli rumah sendiri bagi
yang sudah mampu atau dengan menyewa), berdasarkan kemampuan masing-masing. Hal ini didasarkan
kepada ayat berikut ini:
( أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِآُمْ (الطلاق: 6
Artinya: "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu"
(QS. At-Thalaq: 6).
Dalam ajaran Islam, seorang suami tidak boleh menghitung dari maharnya untuk keperluan
peralatan rumah tangga. Misalnya, seorang suami tidak boleh mengatakan: "Ini uang 5 juta untuk mahar
dan peralatan rumah tangga". Hal ini tidak dibenarkan lantaran mahar itu khusus sebagai pengganti sah
dan halalnya berhubungan badan. Untuk itu, seorang suami sebaiknya memisahkan antara mahar dan
untuk peralatan rumah tangga. Sekalipun seorang suami telah membayar mahar dengan sangat besar, tetap
ia masih mempunyai kewajiban untuk menyediakan tempat tinggal berikut segala peralatannya.
Apabila si suami ini menyerahkan sejumlah uang kepada si isteri, di luar mas kawin, dengan
maksud untuk melengkapi keperluan alat-alat rumah, maka si isterilah kini yang berkewajiban
menyiapkan peralatan tersebut karena dalam fiqih disamakan dengan hibah tapi dengan disyaratkan ada
pengganti; seolah si laki-laki menghibahkan atau memberikan uang itu, tapi dengan catatan harus
menyediakan alat-alat rumah.
Apabila si isteri atau keluarga isteri yang menyiapkan sebagian atau seluruh peralatan rumah
tangga berikut rumahnya, maka hal itu sah-sah saja dan semua rumah berikut peralatannya milik si isteri.
Apabila si isteri atau keluarganya menyediakan rumah berikut peralatannya berdasarkan kerelaannya
sendiri, tanpa ada paksaan, maka hal itu sangatlah baik dan berpahala. Hal ini sebagaimana pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw ketika beliau menyiapkan berbagai peralatan rumah tangga ketika
menikahkan putrinya, Fatimah bint Rasulullah saw dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut ini:
ة 􀑧 ل وقرب 􀑧 ى خمي 􀑧 ة ف 􀑧 عن علي رضي الله عنه قال : ((جهز رسول الله صلى الله عليه وسلم فاطم
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
18
ووسادة حشوها إذخر)) [أخرجه النسائي وابن ماجه بسند حسن]
Artinya: Ali bin Abi Thalib berkata: "Rasulullah saw menyiapkan untuk Fatimah (ketika menikah dengan
Ali bin Abi Thalib) alat pembersih, tempat menampuang air, bantal, dan tempat menyimpan makanan)"
(HR. Imam Nasai dan Ibn Majah dengan sanad Hasan).
I'lan Nikah / Mengumumkan Pernikahan
I'lan nikah atau mengumumkan pernikahan adalah menampakkan dan menyebarkan pernikahan di
antara masyarakat setempat. Hokum mengumumkan pernikahan ini sebagaimana telah dibahas pada
makalah sebelumnya, menurut pendapat yang rajih, adalah termasuk salah satu syarat sahnya akad nikah.
Artinya, apabila pernikahan tidak diumumkan, maka pernikahan tersebut tidak sah. Bahkan, sebagian
ulama mengatakan yang membedakan antara pernikahan dengan perzinaan adalah bahwa pernikahan itu
diumumkan sedangkan perzinahan tidak diumumkan.
I'lan nikah bertujuan untuk mengumumkan dan memberitahukan kepada masyarakat setempat
bahwa si anu telah menikah dengan si anu, sekaligus hendak berbagi kebahagiaan antara pengantin dengan
masyarakat setempat.
Dalil diharuskannya mengumumkan pernikahan
Di antara dalil yang mengharuskan mengumumkan pernikahan adalah hadits berikut ini:
ه 􀑧 اح)) [أخرج 􀑧 وا النك 􀑧 ال: ((أعلن 􀑧 لم ق 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ر أن رس 􀑧 ن الزبي 􀑧 د الله ب 􀑧 ن عب 􀑧 ع
أحمد]
Artinya: Dari Abdullah bin Zubair bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Umumkanlah pernikahan itu"
(HR. Ahmad).
ساجد 􀑧 ى الم 􀑧 واه ف 􀑧 اح واجعل 􀑧 وا النك 􀑧 لم : ((أعلن 􀑧 ه وس 􀑧 عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله علي
واضربوا عليه بالدفوف)) [أخرجه الترمذى]
Artinya: Siti Aisyah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Umumkanlah pernikahan itu, dan jadikanlah
tempat mengumumkannya di mesjid-mesjid, dan tabuhlah rebana-rebana" (HR. Tumrmudzi).
Bentuk-bentuk I'lan nikah
I'lan nikah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Khutbah Nikah.
Khutbah nikah termasuk salah satu bentuk untuk mengumumkan pernikahan. Dengan
adanya khutbah nikah, ini menunjukkan bahwa telah terjadi pernikahan antara si anu dengan si
anu. Oleh karena itu, sebaiknya akad nikah berikut khutbahnya dilaksanakan di tempat ramai yang
biasa menjadi tempat berkumpulnya orang-orang seperti di mesjid atau pun tempat lainnya
sebagaimana telah disebutkan dalam hadits di atas. Khutbah nikah dilakukan sebelum
dilaksanakannya akad nikah. Oleh karena itu, khutbah nikah sebaiknya tidak terlalu lama,
mengingat setelah khutbah tersebut akan dilangsungkan akad.
Dalam prakteknya di Indonesia, khutbah nikah dilaksanakan setelah akad nikah
dilangsungkan. Hal ini kurang tepat mengingat dalam berbagai keterangan disebutkan bahwa
Rasulullah saw melakukan khutbah nikah sebelum akad dilangsungkan. Khutbah nikah sebaiknya
berisi nasihat dan petunjuk seputar apa yang seharusnya dilakukan setelah menikah nanti. Apabila
petuah dan nasihat tersebut dirasakan kurang, maka tidak mengapa diadakan lagi ceramah umum
tentang pernikahan setelah akad nikah dilangsungkan. Namun, ini namanya bukan lagi sebagai
khutbah nikah akan tetapi ceramah tentang nikah biasa, karena, sekali lagi, khutbah nikah
dilaksanakan sebelum dilangsungkannya akad nikah (untuk lebih jelasnya lihat dalam Fiqhus
Sunnah karya Sayyid Sabiq, II/487-488). Untuk konteks Mesir, sebagaimana yang pernah penulis
saksikan berkali-kali, umumnya akad nikah dilangsungkan di mesjid. Lalu sebelum akad nikah
diucapkan, si khatib atau imam atau yang dipandang ulama, biasanya menyampaikan nasihat dan
khutbah nikah tentang pernikahan dalam Islam dalam waktu sekitar 20 menit. Setelah khutbah
nikah selesai, baru akad nikah dilangsungkan.
Ada hal yang patut ditiru dari adat Mesir, bahwa ketika akad nikah dilangsungkan, si
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
19
mempelai wanita tidak mesti hadir di depan pejabat KUA (tukang menikahkan). Si mempelai
wanita umumnya berdiam diri atau duduk di belakang bersama para wanita lainnya. Sementara
yang melangsungkan akad nikah, cukup mempelai laki-laki dengan wali si wanita. Sementara
dalam tradisi Indonesia, umumnya si mempelai wanita dan laki-laki disandingkan, bahkan disuruh
berpegangan tangan atau bertatapan penuh mesra padahal akad nikah belum dilaksanakan. Selama
akad nikah bleum diucapkan, maka calon mempelai wanita kedudukannya masih haram dipegang,
haram ditatap apalagi dipeluk, oleh calon mempelai laki-laki.
Untuk itu, penulis menyarankan adanya perubahan tentang pelaksanaan akad nikah ini, di
mana biarkan yang melaksanakan akad tersebut cukup walinya saja, sedangkan si wanita bisa di
rumahnya, di belakang, atau siap-siap di dalam kamar. Di samping itu, khutbah nikah sekali lagi
dilaksanakan sebelum akad diucapkan bukan setelahnya. Bukankah khutbah nikah dimaksudkan
untuk memberikan nasihat dan wejangan kepada calon suami isteri yang akan melangsungkan
pernikahan?
Bagi orang yang melaksanakan khutbah nikah, sebaiknya mereka yang sudah menikah. Hal
ini dikarenakan dalam berbagai keterangan disebutkan bahwa khutbah nikah dilaksanakan oleh
mereka yang telah berumah tangga. Tapi apabila karena berbagai hal, misalnya yang mengetahui
fiqh dan seputar pernikahan seorang bujang, perjaka, maka tidak mengapa dia menyampaikan
khutbah nikah.
Apa yang sebaiknya dibaca ketika khutbah nikah? Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhus
Sunnah-nya, paling sedikit seorang khatib nikah hendaknya membaca: alhamdulillah was shalatu
was salamu 'ala rasulillah saw. Sedangkan lebih lengkap dan lebih utamanya, khatib nikah
sebaiknya membaca tahmid berikut ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Ibn
Majah dan yang lainnya, dan setelah tahmid ini disambung dengan membaca tiga ayat al-Qur'an
sebagaimana akan dipaparkan di bawah ini, dilanjutkan dengan nasihat atau ajaran Islam tentang
pernikahan. Tahmid dan tiga ayat dimaksud adalah:
ة : (( إن 􀑧 ة الحاج 􀑧 ى خطب 􀑧 لم ف 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ا رس 􀑧 ال : علمن 􀑧 سعود ق 􀑧 عن ابن م
ن 􀑧 ا, م 􀑧 يئات أعمالن 􀑧 سنا وس 􀑧 الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره , ونعوذ بالله من شرور أنف
ريك 􀑧 ده لا ش 􀑧 ه إلا الله وح 􀑧 يهده الله فلا مضل له , ومن يضلل فلا هادي له , وأشهد أن لا إل
هَ 􀑧 له, وأشهد أن محمد ا عبده ورسوله , [ثم قرأ ثلاث آيات ]: ((يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّ
مُ 􀑧 وا رَبَّكُ 􀑧 اسُ اتَّقُ 􀑧 ا النَّ 􀑧 ران : 102 ] ((يَاأَيُّهَ 􀑧 سْلِمُو نَ)) [آل عم 􀑧 حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُ
وا 􀑧 سَاءً وَاتَّقُ 􀑧 رًا وَنِ 􀑧 ا آَثِي 􀑧 ا رِجَالً 􀑧 ثَّ مِنْهُمَ 􀑧 ا وَبَ 􀑧 ا زَوْجَهَ 􀑧 الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَ قَ مِنْهَ
ذِينَ 􀑧 ا الَّ 􀑧 ساء : 1] ((يَاأَيُّهَ 􀑧 ا)) [الن 􀑧 يْكُمْ رَقِيبً 􀑧 انَ عَلَ 􀑧 هَ آَ 􀑧 امَ إِنَّ اللَّ 􀑧 هِ وَالْأَرْحَ 􀑧 سَاءَلُونَ بِ 􀑧 اللَّهَ الَّذِي تَ
ءَامَنُوا اتَّقُوا ال لَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِي دًا* يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ
ذى, 􀑧 و داود, والترم 􀑧 ه أب 􀑧 71 ] (أخرج - زاب: 70 􀑧 ا)) [الأح 􀑧 وْزًا عَظِيمً 􀑧 ازَ فَ 􀑧 دْ فَ 􀑧 ولَهُ فَقَ 􀑧 وَرَسُ
والنسائى وابن ماجه)
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Rasulullah Saw mengajarkan kami kata-kata untuk memulai
khutbah. Beliau membaca tahmid berikut ini: Innalhamda lillah nahmaduhu wa nasta'inuh wa
nastaghfiruh. Wa na'udzu billah min syururi anfusina wa sayyi'ati 'amalina may yahdihillah fala
mudhilla lah wa may yudlil fala hadiya lah. Wa asyhadu alla ilaha illallah wahdahu la syarika lah
wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluh. Kemudian beliau membaca tiga ayat berikut
ini masing-masing surat Ali Imran ayat 102, An-Nisa ayat 1 dan Al-Ahzab ayat 70 dan 71" (HR.
Abu Dawud, Turmudzi, Nasa'I dan Ibn Majah).
Apabila sebuah pernikahan tidak memakai khutbah nikah, maka pernikahan tersebut sahsah
saja. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((اذهب, فقد أنكحتكها بما معك من القرآن)) [رواه
البخارى]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pergilah sesungguhnya saya telah menikahkan kamu
dengannya dengan apa ayat-ayat al-Qur'an yang kamu hapal" (HR. Bukhari).
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
20
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw langsung menikahkan keduanya, tanpa memakai
khutbah nikah sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa pernikahan yang tidak memakai khutbah
nikah, sah-sah saja.
2. Nyanyian dan rebana.
Termasuk salah satu cara mengumumkan pernikahan juga adalah dengan adanya nyayian
dan musik. Dalam ajaran Islam, nyanyian dan musik diperbolehkan selama hal itu sebatas hiburan
semata dan tidak memamerkan aurat atau menjadi ajang perangsang syahwat. Hiburan biasa saja,
tanpa menimbulkan atau memamerkan sesuatu yang dilarang oleh ajaran Islam, sah-sah saja. Di
antara dalil boleh nya nyanyian dalam resepsi pernikahan adalah hadits berikut ini:
ى 􀑧 واه ف 􀑧 اح واجعل 􀑧 وا النك 􀑧 لم: ((أعلن 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ال رس 􀑧 ت ق 􀑧 شة قال 􀑧 ن عائ 􀑧 ع
المساجد واضربوا عليه بالدفوف)) [أخرجه الترمذى]
Artinya: Siti Aisyah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Umumkanlah pernikahan itu, dan
jadikanlah tempat mengumumkannya di mesjid-mesjid, dan tabuhlah rebana-rebana" (HR.
Tumrmudzi).
ى 􀑧 س عل 􀑧 ي , فجل 􀑧 ى ب 􀑧 ين بن 􀑧 لم ح 􀑧 عن الربيع بنت معوذ قالت : جاء النبي صلى الله عليه وس
ت 􀑧 در إذ قال 􀑧 وم ب 􀑧 فراشى فجعلت جويريات لنا يضرب بالدف , ويندبن من قتل من آبائي ي
ولين )) 􀑧 ت تق 􀑧 ذى آن 􀑧 ولى بال 􀑧 ذا, وق 􀑧 ى ه 􀑧 ال : دع 􀑧 د فق 􀑧 ى غ 􀑧 ا ف 􀑧 م م 􀑧 ي يعل 􀑧 ا نب 􀑧 داهن:.. وفين 􀑧 إح
[أخرجه البخارى]
Artinya: Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Rasulullah saw datang ketika pernikahan saya
dilangsungkan. Beliau lalu duduk di tempat duduk saya, sementara di luar terdengar budak-budak
wanita sedang memainkan rebana sambil memuji-muji dan menyebut-nyebut kebaikan orang tua
kami yang terbunuh pada perang Badar. Salah satu dari mereka berkata: "Di antara kami kini ada
Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari". Rasulullah saw lalu bersabda: "Biarkan
dia, dan katakan kepadanya apa yang seharusnya kamu katakana (maksudnya apabila ada nyanyai
yang keluar dari ajaran Islam, supaya budak-budak wanita itu diingatkan)" (HR. Bukhari).
ى 􀑧 ا إل 􀑧 ى زفافه 􀑧 ا ف 􀑧 ارت معه 􀑧 عد , وس 􀑧 ت أس 􀑧 ة بن 􀑧 ا الفارع 􀑧 زفت السيدة عائشة رضي الله عنه
ا 􀑧 شة , م 􀑧 ا عائ 􀑧 بيت زوجها نبيط بن جابر الأنصارى , فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ((ي
آان معكم لهو؟ فإن الأنصار يعجبهم اللهو)) [رواه البخارى]
Artinya: Siti Aisyah menghadiri acara pernikahannya al-Fari'ah bint As'ad. Lalu keduanya pergi
menuju rumah suami barunya itu, Nabith bin Jabir al-Anshari. Rasulullah saw lalu bersabda:
"Wahai Aisyah, mengapa tidak memakai / terdengar ada nyanyian (hiburan). Bukankah orangorang
Anshar terkenal dengan sangat indah dan pintar berdendang?" (HR. Bukhari).
ى 􀑧 صارى ف 􀑧 سعود الأن 􀑧 ي م 􀑧 ب , وأب 􀑧 ن آع 􀑧 ة ب 􀑧 ى قرظ 􀑧 ت عل 􀑧 ال : دخل 􀑧 عد ق 􀑧 ن س 􀑧 امر ب 􀑧 ن ع 􀑧 ع
ل 􀑧 عرس, وإذا جوار يغنين , فقلت: أنتما صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم , ومن أه
ى 􀑧 بدر, يفعل هذا عندآم !! فقالا: إن شئت فاسمع معن ا, وإن شئت فاذهب , قد رخص لنا ف
اللهو عند العرس (رواه النسائي والحاآم).
Artinya: Amir bin Sa'ad berkata: "Suatu hari saya memasuki rumahnya Qordhah bin Ka'ab dan
Abu Mas'ud al-Anshary ketika sedang mengadakan acara pernikahan. Ternyata di sana sedang ada
budak-budak wanita sedang bernyanyi. Saya lalu berkata: "Mengapa kalian berdua melakukan hal
ini, bukankah kalian berdua adalah sahabat Rasulullah saw dan termasuk yang ikut dalam perang
Badar?" Keduanya menjawab: "Jika kamu mau, silahkan ikut mendengarkan bersama kami, jika
tidak, silahkan pergi. Rasulullah saw, telah memberikan keringanan kepada kami mengenai
hiburan ketika pernikahan" (HR. Nasa'i dan Hakim).
Selain khutbah nikah, hiburan, di antara bentuk pengumuman pernikahan juga adalah
dengan menyebar kartu undangan, pesta sederhana ataupun yang lainnya.
3. Walimah.
Walimah juga termasuk salah satu bentuk pengumuman pernikahan. Mengingat masalah
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
21
yang terkait dengan walimah ini lumayan banyak dan pelik, berikut ini penulis sajikan secara
tersendiri dengan maksud agar pembaca dapat mengambil banyak manfaat dan faidah.
Walimah / resepsi pernikahan
Walimah, dalam istilah Fiqh berarti makanan yang khusus disediakan ketika pernikahan. Jadi,
walimah itu adalah nama makanan yang biasa disediakan ketika pesta pernikahan.
Dalam fiqh Islam, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya Tuhfah
al-Wadud bi Ahkam al-Maulud (hal. 72), bahwa terdapat nama-nama makanan khusus yang disesuaikan
dengan peristiwa atau moment tertentu. Nama-nama makanan tersebut adalah:
Al-Qira adalah makanan untuk para tamu yang tidak diundang
Al-Madabah adalah makanan untuk untuk para tamu undangan
At-Tuhfah adalah makanan untuk orang yang berziarah ke rumah kita
Al-Walimah adalah makanan pada hari perkawinan
Al-Khurs adalah makanan pada saat melahirkan
Al-Aqiqah adalah makanan pada hari ke tujuh dari kelahiran anak
Al-Ghadirah adalah makanan pada saat anak dikhitan (disunat)
An-Naqi'ah adalah makanan pada orang yang baru datang dari bepergian
Al-Wakirah adalah makanan ketika selesai membangun rumah atau bangunan lainnya
Al-Wadi'ah adalah makanan pada waktu berkumpul ketika ada yang meninggal dunia
Namun dalam perjalanan berikutnya, walimah tidak lagi tertuju untuk makanan yang ada saat
pernikahan, akan tetapi lebih bersifat umum lagi untuk sebuah acara, pesta atau resepsi pernikahan.
Hukumnya
Mengadakan walimah pernikahan hukumnya Sunnah Muakkadah. Bagi yang melangsungkan
pernikahan dianjurkan untuk mengadakan walimah menurut kemampuan masing-masing. Dalam hal ini
Rasulullah saw bersabda kepada Abdurrahman bin Auf ketika ia menikah:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أولم ولو بشاة)) [رواه البخارى]
Rasulullah saw bersabda: "Adakanlah walimah sekalipun dengan seekor kambing" (HR. Bukhari).
دعا 􀑧 عن أنس قال : ((...أصبح النبي صلى الله عليه وسلم بها (أي بزينب بنت جحش ) عروسا ف
القوم فأصابوا الطعام ثم خرجوا...)) [أخرجه البخارى ومسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pada suatu pagi Rasulullah saw telah menjadi pengantin dengan
Zainab bint Jahsy (Rasulullah menikahinya kemarinnya). Lalu beliau mengundang para sahabat untuk
makan-makan bersamanya. Setelah itu, mereka pulang…" (HR. Bukhari Muslim).
Kedua hadits di atas memberikan penekanan bahwa walimah pernikahan itu sangat dianjurkan.
Bahkan dalam hadits pertama, Rasulullah saw mengatakan berwalimahlah sekalipun hanya dengan seekor
kambing. Ukuran kambing, tentunya untuk saat itu merupakan hewan yang biasa dan sederhana,tidak
memberatkan. Dengan demikian hadits tersebut betul-betul menganjurkan walimah pernikahan sekalipun
dengan sesuatu yang sangat ringan, untuk konteks sekarang mungkin sekalipun dengan daging ayam, atau
apa saja yang sifatnya sederhana.
Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Rasulullah saw pernah mengadakan walimah
pernikahan ketika beliau menikah dengan Shafiyyah hanya dengan al-Hais yakni makanan yang bahan
utamanya berupa kurma yang dicampur dengan tepung (HR. Bukhari Muslim). Oleh karena itu, semua ini
menunjukkan bahwa memang walimah pernikahan sangat dianjurkan sekalipun dengan walimah yang
sangat sederhana.
Kapan walimah pernikahan itu dilangsungkan?
Apakah walimah atau resepsi, makan-makan, pada pernikahan itu dilaksankan setelah akad, ketika
akad, ketika dukhul atau setelah dukhul? Walimah atau resepsi pernikahan boleh dilakukan kapan saja,
baik ketika akad, setelah akad, ketika dukhul ataupun setelah dukhul. Hanya saja, walimah pernikahan
tidak boleh dilakukan sebelum akad nikah dilaksanakan.
Hanya saja, apabila kita melihat hadits Rasulullah saw, maka walimah pernikahan yang utama
dilakukan adalah setelah suami isteri menikmati malam pertamanya, sudah berhubungan badan. Hal ini
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
22
didasarkan pada hadits berikut ini sebagaimana telah disebutkan di atas:
دعا 􀑧 عن أنس قال : ((...أصبح النبي صلى الله عليه وسلم بها (أي بزينب بنت جحش ) عروسا ف
القوم فأصابوا الطعام ثم خرجوا...)) [أخرجه البخارى ومسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pada suatu pagi Rasulullah saw telah menjadi pengantin dengan
Zainab bint Jahsy (Rasulullah menikahinya kemarinnya). Lalu beliau mengundang para sahabat untuk
makan-makan bersamanya. Setelah itu, mereka pulang…" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits ini dikatakan bahwa Rasulullah saw mengadakan walimah pernikahannya dengan
Zainab bint Jahsy, pada pagi hari, artinya pernikahannya dilakukan hari kemarinnya. Ini tentu memberikan
indikasi sangat kuat, bahwa beliau telah menggauli isterinya itu. Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa
sebaiknya resepsi pernikahan itu dilakukan secepat mungkin, bahkan kalau bisa hari itu juga atau
besoknya. Hal ini mengingat bahwa resepsi adalah salah satu cara mengumumkan pernikahan, dan
mengumumkan pernikahan lebih cepat tentu lebih baik, demi menghindari fitnah.
Untuk konteks Indonesia, resepsi seringkali dibayangkan dengan sesuatu acara yang sangat meriah
sehingga membutuhkan banyak dana. Hal ini kemudian mengakibatkan sejumlah pasangan menunda acara
resepsi pernikahannya sampai bebarapa bulan ke depan. Hemat penulis, praktek seperti ini kurang tepat
mengingat, sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa resepsi pernikahan tidak mesti mewah cukup
dengan mengundang tetangga, kawan, kerabat, untuk makan bersama, sekalipun tidak memakai daging
atau lainnya. Dengan diundurnya resepsi ke beberapa bulan ke depan dengan dalih agar lebih meriah,
tentu hal ini sama dengan mengambil hal yang mubah hukumnya dan meninggalkan hal yang sunnah.
Namun demikian, Islam sangatlah bijak. Adat kebiasaan setempat terkadang harus dihormati dan
dijadikan sebagai hokum. Bagi orang yang resepsi pernikahannya diundur ke beberapa bulan ke depan
dengan dalih adat dan lainnya, hal itu sah-sah saja.
Undangan menghadiri resepsi pernikahan
Sebagaimana menjadi tradisi di masyarakat Indonesia, bahwa sebelum acara akad nikah dan
resepsi, seringkali dibagikan kartu undangan. Kartu undangan ini biasanya berisi pemberitahuan bahwa si
anu akan menikah dengan si anu, sekaligus permohonan kepada yang menerima undangan untuk
menghadiri akad nikah atau resepsi pernikahan. Praktek seperti ini, sunnah hukumnya. Karena, kartu
udangan, dapat dipandang sebagai salah satu cara mengumumkan pernikahan. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan ketika mengadakan walimah pernikahan ini:
1. Walimah pernikahan tidak boleh dijadikan komoditas bisnis, jual makanan. Hal ini karena
umumnya di masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, undangan pernikahan
ini hanya diberikan kepada orang-orang berduit yang diperkirakan akan memberikan 'amplop' tebal,
tanpa memperhitungkan apakah dia orang shaleh ataupun tidak. Yang penting berduit dan diperkirakan
akan memberikan amplop tebal, maka ia akan di undang.
Praktek semacam ini, hemat penulis, sangatlah salah. Hal pertama harus diingat, bahwa walimah
pernikahan dalam ajaran Islam bukanlah sebagai ajang bisnis yang harus dihitung untung rugi.
Walimah pernikahan adalah salah satu bentuk rasa syukur dari si mempelai karena kini keduanya telah
menyempurnakan agamanya plus telah mengikuti salah satu sunnah Rasulullah saw yang sangat
penting yakni pernikahan. Karena walimah berupa rasa syukur dan berbagi kebahagiaan kedua
mempelai berikut keluarganya, maka tidaklah etis apabila dijadikan komoditas bisnis, mengeruk
keuntungan. Oleh karena walimah adalah salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah swt juga berbagi
rasa bahagia, Rasululullah saw dalam hadits di atas, menganjurkan sesegera mungkin ke dua mempelai
agar melangsungkan walimahnya. Apabila si mempelai tidak mampu mewah, maka cukup dengan
makanan alakadarnya, baik memotong kambing ataupun makanan ringan lain seperti makanan al-hais,
kurma yang dicampur dengan tepung.
Oleh karena itu, hemat penulis, karena walimah pernikahan adalah salah satu bentuk rasa syukur
dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang, maka sebaiknya walimah itu tidak dijadikan sebagai
ajang bisnis, menghitung-hitung kemungkinan keuntungan sekian dan seterusnya. Ada yang memberi
amplop, alhamdulillah, dan tidak ada pun tidak mengapa, toh maksudnya bukan untuk bisnis dan
jualan makanan tapi sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt.
2, Hal penting lainnya yang harus diperhatikan ketika melangsungkan walimah adalah, mengundang
orang-orang shalih, baik dia itu orang kaya maupun orang miskin. Mengapa? Karena salah satu
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
23
hadits Rasulullah saw mengatakan:
ي )) 􀑧 ك إلا تق 􀑧 ل طعام 􀑧 ا, ولا يأآ 􀑧 صاحب إلا مؤمن 􀑧 لم : ((لا ت 􀑧 قال رسول الله صلى الله عليه وس
[أخرجه أبو داود والترمذى]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kamu jadikan teman kecuali orang beriman, dan
janganlah memakan makanan kamu, kecuali orang yang shaleh, baik, bertakwa" (HR. Abu Dawud dan
Turmudzi).
Mengapa orang shaleh? Karena orang doa mereka, baik doa untuk kedua mempelai atau doa ketika
makan makanan walimah, lebih besar kemungkinannya untuk dikabulkan oleh Allah dari pada yang
lainnya. Bukankah orang yang baru menikah, sangat membutuhkan do'a orang-orang shaleh agar
rumah tangganya sakinah mawaddah dan rahmah?
3. Hal lainnya yang tidak kalah pentingnya ketika walimah pernikahan adalah menyisihkan bagian
makanan khusus untuk fakir miskin. Yang berhak mendapatkan makanan walimah bukan semata
tamu undangan yang kaya, akan tetapi juga orang-orang fakir miskin yang berada di sekitarnya.
Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini:
ن 􀑧 راء , وم 􀑧 رك الفق 􀑧 اء , ويت 􀑧 ا الأغني 􀑧 دعى له 􀑧 عن أبي هريرة قال : ((شر الطعام طعام الوليمة ي
ترك الدعوة فقد عصى الله ورسوله)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah pernikahan di
mana yang diundang hanyalah orang-orang kaya saja sementara orang fakir miskin tidak diundang.
Barang siapa yang tidak mengundang fakir miskin ketika walimah pernikahan, maka sungguh ia telah
berbuat dosa kepada Allah dan RasulNya" (HR.Bukhari Muslim).
Bagaimana hukum memenuhi undangan walimah pernikahan?
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum memenuhi / mendatangi undangan walimah pernikahan
itu adalah wajib, kecuali apabila ada udzur, halangan yang sangat. Hal ini di antaranya berdasarkan
keterangan-keterangan berikut ini:
ا)) 􀑧 ة فليأته 􀑧 ى الوليم 􀑧 دآم إل 􀑧 ي أح 􀑧 ال : ((إذا دع 􀑧 عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ق
[رواه البخاري]
Artinya: Dari Ibn Umar, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian
diundang untuk menghadiri walimah pernikahan, maka penuhilah, datangilah" (HR. Bukhari).
وله )) [رواه 􀑧 صى الله ورس 􀑧 د ع 􀑧 دعوة فق 􀑧 رك ال 􀑧 ن ت 􀑧 ال : ((...وم 􀑧 ه ق 􀑧 ي الله عن 􀑧 عن أبي هريرة رض
البخارى ومسلم]
Artinya: Abu Hurairah berkata: "Barang siapa yang tidak menghadiri undangan pernikahan (walimah),
maka ia sungguh telah berbuat dosa kepada Allah dan RasulNya" (HR. Bukhari Muslim).
Siapa saja yang boleh tidak datang memenuhi undangan walimah pernikahan?
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa memenuhi undangan walimah pernikahan hukumnya
wajib bagi mereka yang tidak mempunyai udzur, halangan. Namun, bagi mereka yang ada udzur,
halangan untuk tidak menghadirinya, maka diperbolehkan untuk tidak menghadirinya. Di antara halangan
yang dibolehkan oleh syara untuk tidak menghadiri undangan walimah pernikahan tersebut adalah:
1. Apabila seseorang diundang ke walimah pernikahan yang di dalamnya ada kemungkaran, seperti
pesta minumah keras, tari-tarian perangsang birahi atau bentuk kemungkaran lainnya, maka orang
yang diundang boleh untuk tidak menghadirinya. Bahkan sebagian ulama, mengatakan, tidak
boleh sedikitpun menghadirinya, kecuali jika ia menghadirinya namun dalam hatinya tetap tidak
menyetujui praktek tersebut sekaligus berusaha untuk menghentikan kemungkaran tadi. Hal ini
didasarkan kepada hadits berikut ini:
ى 􀑧 رأى ف 􀑧 اء ف 􀑧 لم فج 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 دعوت رس 􀑧 عن علي قال : صنعت طعاما ف
ت 􀑧 ى البي 􀑧 البيت تصاوير فرجع . فقلت: يا رسول الله , ما أرجعك بأبي وأمي؟ قال : ((إن ف
سترا فيه تصاوير, وإن الملائكة لا تدخل بيتا فيه تصاوير)) [رواه ابن ماجه]
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
24
Artinya: Ali bin Abi Thalib berkata: "Suatu hari saya membuatkan makanan, lalu saya
mengundang Rasulullah saw. Beliau lalu memenuhi undangan tersebut, namun ia segera pulang
lagi setelah melihat ada banyak gambar di rumah. Saya lalu bertanya: "Ya Rasulullah, apa yang
membuat Anda pulang?" Rasulullah saw menjawab: "Di rumah tadi ada gordeng yang ada
gambarnya, karena sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya
ada gambar" (HR. Ibn Majah).
2. Apabila yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya. Hal ini berdasarkan hadits
berikut ini:
راء , 􀑧 رك الفق 􀑧 اء , ويت 􀑧 ا الأغني 􀑧 دعى له 􀑧 ة ي 􀑧 ام الوليم 􀑧 ام طع 􀑧 ر الطع 􀑧 ال : ((ش 􀑧 رة ق 􀑧 عن أبي هري
ومن ترك الدعوة فقد عصى الله ورسوله)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Abu Hurairah berkata: "Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah pernikahan di
mana yang diundang hanyalah orang-orang kaya saja sementara orang fakir miskin tidak diundang.
Barang siapa yang tidak mengundang fakir miskin ketika walimah pernikahan, maka sungguh ia
telah berbuat dosa kepada Allah dan RasulNya" (HR.Bukhari Muslim).
3. Apabila yang diundang adalah orang-orang yang banyak dosa, banyak memakan harta haram dan
syubhat. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
ك إلا 􀑧 ل طعام 􀑧 ا, ولا يأآ 􀑧 صاحب إلا مؤمن 􀑧 لم : ((لا ت 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ال رس 􀑧 ق
تقي)) [أخرجه أبو داود والترمذى]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kamu jadikan teman kecuali orang beriman, dan
janganlah memakan makanan kamu, kecuali orang yang shaleh, baik, bertakwa" (HR. Abu Dawud
dan Turmudzi).
Demikian juga dengan udzur-udzur lainnya, seperti sakit, hujan lebat, udara yang sangat dingin,
takut dirampok, suasana yang tidak aman dan lainnya. Maka, apabila ada kondisi-kondisi tersebut,
dibolehkan seseorang tidak menghadiri undangan walimah pernikahan.
Bagaimana kalau diundang walimah tapi ia sedang berpuasa?
Barang siapa yang sedang puasa kemudian diundang untuk menghadiri walimah pernikahan, maka
tetap wajib untuk menghadirinya, hal ini dikarenakan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Ketika ia
menghadirinya, maka ia boleh memilih antara membatalkan puasanya, apabila puasanya itu puasa sunnat,
ataupun ia meneruskan puasanya (tidak membatalkannya) sambil mendoakan kedua mempelai. Hal ini
didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:
را 􀑧 ان مفط 􀑧 إن آ 􀑧 ب , ف 􀑧 ام فليج 􀑧 ى طع 􀑧 دآم إل 􀑧 ي أح 􀑧 لم : (( إذا دع 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 قال رس
فليطعم, وإن آان صائما فليصل)) [أخرجه مسلم]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Apabila seseorang di undang untuk menghadiri jamuan, maka
penuhilah. Apabila ia berpuasa dan hendak berbuka, maka berbukalah. Namun, jika ia tetap berpuasa,
maka doakanlah (yang memberikan jamuan tersebut)" (HR. Muslim).
م , وإن 􀑧 اء طع 􀑧 إن ش 􀑧 ب , ف 􀑧 ام فليج 􀑧 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((إذا دعي أحدآم إلى طع
شاء ترك)) [رواه مسملم]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: " Apabila seseorang di undang untuk menghadiri jamuan, maka
penuhilah. Jika ia mau makan, makanlah dan jika tidak, janganlah makan" (HR. Muslim).
Ucapan selamat dan do'a untuk kedua mempelai
Sunnah hukumnya bagi seorang muslim untuk mengucapkan selamat dan mendoakan orang yang
baru atau sedang menikah. Do'a yang diajarkan oleh Rasulullah saw untuk kedua mempelai adalah:
barakallahu laka wabaraka 'alaik wa jama'a bainakuma fi khairin (semoga Allah memberkahi anda
berdua dan mengumpulkan anda berdua dalam kebaikan". Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رفأ الإنسان —إذا تزوج —قال: ((بارك
الله لك وبارك عليك وجمع بينكما فى خير)) [رواه أبو داود والترمذى وابن ماجه]
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw apabila menghadiri orang yang menikah,
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
25
beliau berdoa: " Barakallahu laka wabaraka 'alaik wa jama'a bainakuma fi khairin (semoga Allah
memberkahi anda berdua dan mengumpulkan anda berdua dalam kebaikan" (HR. Abu Dawud, Turmudzi
dan Ibn Majah).
Memberikan kado, amplop atau hadiah lainnya kepada pengantin
Disunnahkan bagi orang yang menghadiri walimah pernikahan atau mengucapkan selamat kepada
pengantin untuk memberikan kado, amplop atau hadiah lainnya. Hal ini dimaksudkan sebagai turut
berbahagia sekaligus memberikan cindra mata alakadarnya pada saat kebahagiaannya itu. Anjuran ini
berdasarkan hadits berikut ini:
ور 􀑧 ى ت 􀑧 سا ف 􀑧 ليم حي 􀑧 ه أم س 􀑧 دت ل 􀑧 ب , أه 􀑧 عن أنس قال : ((لما تزوج النبي صلى الله عليه وسلم زين
من حجارة...)) [رواه مسلم]
Artinya: "Anas berkata: "Ketika Rasulullah saw menikahi Zainab, Ummu Sulaim menghadiahkan kepada
Rasulullah saw hais, makanan berupa kurma yang dicampur dengan tepung, di dalam sebuah bijana yang
terbuat dari batu" (HR. Muslim).
Adab Malam Pengantin
Islam mengatur persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan suami isteri bukan saja
dalam tataran umum, akan tetapi sampai persoalan-persoalan yang dipandang sangat pribadi. Hal ini tiada
lain demi kebahagiaan suami isteri tersebut dalam kehidupan rumah tangga kelak. Terlebih, masalah
malam pengantin atau hubungan badan ini, termasuk yang sangat penting, mengingat dengan jima' akan
menghasilkan keturunan. Dan keturunan ini tentunya sebagai simpanan dan tabungan abadi kelak
manakala keturunan tersebut shaleh dan shalehah. Di antara upaya untuk menghasilkan keturunan yang
shaleh itulah, salah satunya dengan jalan melakukan hubungan badan secara benar berdasarkan tuntunan
ajaran Islam. Untuk itulah, pembahasan kali ini kita akan melihat bagaimana dan seperti apa hubungan
badan plus adab malam pengantin menurut tuntunan Islam itu.
Apabila kedua mempelai laki-laki dan perempuan sudah masuk ke dalam kamar, maka sebelum
melakukan hubungan badan, mempelai laki-laki disunnahkan terlebih dahulu untuk melakukan hal-hal
berikut ini:
1. Ucapkanlah salam terlebih dahulu kepada mempelai wanita.
Sebelum melakukan hubungan badan, disunnahkan seorang mempelai laki-laki untuk
mengucapkan salam kepada mempelai wanita. Hal ini untuk menenangkan hati dan pikiran si
mempelai wanita sekaligus menghilangkan rasa was-was dan segan. Di samping untuk lebih
mengakrabkan dan lebih mesra. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
دخل 􀑧 أراد أن ي 􀑧 ا, ف 􀑧 ا تزوجه 􀑧 لم لم 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ي ص 􀑧 عن أم سلمة رضي الله عنها قالت : ((أن النب
عليها, سلم)) [أخرجه أبو شيخ بسند حسن]
Artinya: "Ummu Salamah berkata, bahwasannya ketika Rasulullah saw menikahinya dan beliau
hendak menggaulinya, beliau mengucapkan salam terlebih dahulu" (HR. Abu Shaikh dengan sanad
Hasan).
2. Berikanlah sesuatu makanan, minuman atau apa saja demi lebih mengakrabkan dan lebih
menghangatkan suasana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini:
ه 􀑧 ه فدعوت 􀑧 م جئت 􀑧 لم , ث 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 عن أسماء بنت يزيد قالت : ((إنى قينت عائشة لرس
تحيت , 􀑧 ها واس 􀑧 ضت رأس 􀑧 ا فخف 􀑧 م ناوله 􀑧 لجلوتها, فجاء فجلس إلى جنبه ا, فأتى بعس فيه لبن , فشرب ث
شربت 􀑧 ذت ف 􀑧 لم فأخ 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 د رس 􀑧 ن ي 􀑧 ذى م 􀑧 ا: خ 􀑧 ت له 􀑧 ا وقل 􀑧 قالت أسماء : فانتهرته
شيئا)) [رواه أحمد]
Artinya: "Asma binti Yazid berkata: "Saya adalah orang yang merias Siti Aisyah ketika menikah
dengan Rasulullah saw. Begitu selesai meriasnya, saya kemudian menemui Rasulullah dan
mempersilahkan beliau untuk melihat mempelai wanita (Siti Aisyah) lengkap dengan
dandanannya. Rasulullah kemudian menemuinya, lalu duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian
Rasulullah saw mengambil cangkir besar berisi susu. Beliau meminumnya sedikit kemudian
memberikannya kepada Siti Aisyah. Siti AIsyah kemudian tertunduk tanda malu. Asma kemudian
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
26
berkata: "Aku lalu mendekatinya sambil berkata kepadanya: "Ambilah wahai Aisyah, ini langsung
dari tangan Rasulullah saw". Siti Aisyah kemudian mengambilnya dan meminumnya sedikit" (HR.
Ahmad).
3. Letakkan tangan anda di kepala bagian depan (kening, jidat) isteri anda, kecuplah sedikit
kemudian doakanlah kebaikan sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:
يته ا, 􀑧 ذ بناص 􀑧 ا فليأخ 􀑧 ترى خادم 􀑧 رأة أو اش 􀑧 دآم ام 􀑧 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((إذا تزوج أح
ه , 􀑧 ا علي 􀑧 ا جبلته 􀑧 ا وخيرم 􀑧 ن خيره 􀑧 ألك م 􀑧 ى أس 􀑧 م إن 􀑧 ل: الله 􀑧 ة, وليق 􀑧 دع بالبرآ 􀑧 ل, ولي 􀑧 ز وج 􀑧 سم الله ع 􀑧 ولي
وأعوذبك من شرها وشر ما فيها وشر ما جبلتها عليه)) [رواه أبو داود والنسائى وابن ماجه]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian menikahi seorang
wanita atau membeli seorang pembantu (hamba), peganglah terlebih dahulu keningnya, sebutlah
nama Allah dan berdoalah untuk keberkahan serata ucapkanlah doa berikut ini: "Allahumma inni
as'aluka min khairiha wa khairi ma jabaltuha 'alaih, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma
fiha wa syarri ma jabaltuha 'alaih (Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada mu kebaikannya
(isteri) dan kebaikan apa yang saya ambil dari padanya, serta aku berlindung kepadaMu dari
kejahatannya dan kejahatan apa yang ada di dalamnya juga dari kejahatan dari apa yang aku ambil
daripadanya" (HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah).
4. Shalat sunnahlah dua rakaat bersama mempelai wanita. Shalat sunnat malam pengantin ini
sunnah hukumnya. Hal ini didasarkan kepada riwayat berikut ini:
لى 􀑧 ي ص 􀑧 حاب النب 􀑧 ن أص 􀑧 عن أبي سعيد مولى أبي أسيد قال : ((تزوجت وأنا مملوك , فدعوت نفرا م
الو ا: 􀑧 دم فق 􀑧 و ذر ليتق 􀑧 ذهب أب 􀑧 الله عليه وسلم فيهم ابن مسعود وأبو ذر وحذيفة , قال: وأقيمت الصلاة ف
ك 􀑧 إليك, قال: أو آذلك؟ قالو ا: نعم. قال: فتقدمت بهم وأنا عبد مملوك , وعلمونى فقالو ا: إذا دخل علي
ك )) 􀑧 أن أهل 􀑧 أنك وش 􀑧 م ش 􀑧 ره , ث 􀑧 أهلك فصل رآعتين ثم سل الله من خير ما دخل عليك وتعوذ به من ش
[رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح]
Artinya: Dari Abu Said mantan budak Abu Usaid berkata: "Saya menikah ketika masih menjadi
hamba sahaya, lalu saya mengundang sekelompok sahabat Rasulullah saw di antaranya ada Ibnu
Mas'ud dan Abu Dzar juga Hudzaifah. Abu Said berkata: "Lalu dibacakan iqamat untuk shalat.
Abu Dzar kemudian berangkat untuk maju ke depan, para sahabat lainnya kemudian berkata:
"Kamu juga ikut". Abu Said berkata: "Apakah harus demikian?" Mereka menjawab: "Ya". Aku
lalu maju ke depan sedangkan saya saat itu masih seorang budak belian. Mereka mengajariku dan
mereka berkata: "Apabila kamu hendak menggauli isteri kamu (baru pengantin), shalatlah terlebih
dahulu dua rakaat, kemudian berdoalah kepada Allah untuk kebaikan apa yang telah kamu gauli,
juga berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya dan kejahatan diri kamu juga diri keluargamu"
(HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
5. Bersihkan mulut anda terlebih dahulu dan pakailah penyegar nafas atau wewangian untuk
mulut anda sebelum anda menggaulinya. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
ل 􀑧 دأ إذا دخ 􀑧 لم يب 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ي ص 􀑧 ان النب 􀑧 يئ آ 􀑧 أي ش 􀑧 شة : ب 􀑧 ت لعائ 􀑧 عن شريح بن هانئ قال : ((قل
بيته؟ قالت: بالسواك)) [أخرجه مسلم]
Artinya: "Syuraih bin Hani berkata: " Saya pernah bertanya kepada Siti Aisyah, dengan apa
Rasulullah saw memulai sebelum beliau menggauli isteri-isterinya?" Siti AIsyah berkata: "Dengan
siwak (pembersih mulut dan gigi)" (HR. Muslim).
6. Sebutlah nama Allah dan berdoalah dengan do'a Jima berikut ini sebelum anda
menggaulinya. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
سم 􀑧 ه : ب 􀑧 أتى أهل 􀑧 ين ي 􀑧 عن ابن عباس قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : ((أما لو أن أحدهم يقول ح
م 􀑧 د —ل 􀑧 ضى ول 􀑧 ك —أو ق 􀑧 ى ذل 􀑧 ا ف 􀑧 الله اللهم جنبنى الشيطان , وجنب الشيطان ما رزقتن ا, ثم قدر بينهم
يضره شيطان أبدا)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila seseorang membaca doa berikut
ini sebelum menggauli isterinya: "bismillah allahumma jannibnis syaithan wa jannibis syaithan
ma razaqtana" (Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syetan dari saya, dan
jauhkanlah ia dari apa yang akan Eukau rizkikan kepada kami (anak, keturunan), kemudian dari
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
27
hubungan tersebut ditakdirkan menghasilkan seorang anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan
selamanya" (HR. Bukhari Muslim).
Adab dan etika bersenggama dalam ajaran Islam
1. Disunnahkan mencumbunya terlebih dahulu (pemanasan) sebelum melakukan hubungan
badan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak sudah betul-betul siap untuk melakukan
hubungan badan sehingga kenikmatan yang akan dirasakannya betul-betul maksimal. Hal ini
didasarkan kepada hadits berikut ini:
ات , 􀑧 سع بن 􀑧 ات أو ت 􀑧 بع بن 􀑧 رك س 􀑧 ى وت 􀑧 ك أب 􀑧 عن جابر بن عبدالله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : هل
م . 􀑧 ت : نع 􀑧 ابر؟ )) فقل 􀑧 ا ج 􀑧 ت ي 􀑧 لم : ((تزوج 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 فتزوجت امرأة ثيب ا, فقال لى رسول الله ص
ا 􀑧 را تلاعبه 􀑧 ت بك 􀑧 لا تزوج 􀑧 ال: فه 􀑧 ا, ق 􀑧 ت ثيب 􀑧 ت: تزوج 􀑧 ا؟ )) فقل 􀑧 را أم ثيب 􀑧 ت بك 􀑧 ل تزوج 􀑧 ال: ((ه 􀑧 فق
وتلاعبك؟ (أخرجه البخارى)
Artinya: "Jabir bin Abdillah berkata: "Bapak saya baru saja meninggal dan meninggalkan tujuh
atau sembilan putri perempuan. Lalu saya menikah dengan seorang janda. Rasulullah saw lalu
bertanya kepada saya: "Apakah kamu sudah menikah wahai Jabir?" Saya menjawab: "Ya, sudah ya
Rasulullah". Rasulullah saw bersabda kembali: "Apakah kamu menikahi gadis atau janda?" Saya
menjawab: "Janda". Rasulullah bersabda kembali: "Mengapa kamu tidak menikahi gadis sehingga
kamu dapat bercanda-canda dengannya (bercumbu) dan dia pun dapat mencandai (mencumbui)
kamu?" (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dikatakan:
لى الله 􀑧 ي ص 􀑧 ال النب 􀑧 ب فق 􀑧 ا ثي 􀑧 ه بأنه 􀑧 ا؟ وأجاب 􀑧 را أو ثيب 􀑧 ت بك 􀑧 لم : تزوج 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 فسأله النبي ص
عليه وسلم: ((ما لك وللعذارى ولعابها)) [رواه البخارى]
Artinya: Rasulullah saw kemudian bertanya: "Apakah kamu wahai Jabir menikahi janda atau
gadis?" Jabir menjawab: " Janda". Rasulullah saw kemudian bersabda kembali: "Mengapa bukan
gadis dan air liurnya?" (HR. Bukhari).
Para ulama mengatakan bahwa yang dengan kata wa lu'abiha di atas dimaksudkan sebagai
isyarat untuk menghisap lidah dan mengisap air liur pasangannya. Hal ini tentu dapat dilakukan
dalam bercumbu / pemanasan tersebut. Di samping itu, para ulama juga sepakat untuk mengatakan
bahwa apabila seorang laki-laki telah mencapai kepuasan, maka ia tidak boleh—maaf—segera
"mencabutnya" sebelum pasangannya tersebut juga betul-betul telah mencapai kenikmatan yang
sama.
Bahkan, dalam hadits yang lain, Rasulullah saw melarang ummatnya untuk melakukan
hubungan badan tanpa pemanasan dan bercumbu terlebih dahulu:
يكن 􀑧 ة ,ول 􀑧 ع البهيم 􀑧 ا تق 􀑧 ه آم 􀑧 ى أهل 􀑧 دآم عل 􀑧 ع أح 􀑧 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((لا يق
بينهما رسول: القبلة والكلام)) [رواه الترمذى]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli isterinya
sebagaimana hewan menggauli sesamanya. Hendaklah ia mengadakan pemanasan (perantara)
terlebih dahulu dengan jalan ciuman dan kata-kata mesra" (HR. Turmudzi).
Perhatikan juga hadits berikut yang menerangkan bahwa Rasulullah saw pun
mencumbunya terlebih dahulu:
عن عائشة أنه صلى الله عليه وسلم آان يقبل نساءه (رواه الطبرانى)
Artinya: "Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw suka mencium isteri-isterinya" (HR.
Thabrani)
Demikian juga dengan hadits berikut ini:
عن عائشة أنه صلى الله عليه وسلم يمص لسان عائشة (رواه الطبرانى)
Artinya: "Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw menghisap lidah Siti Aisyah" (HR.
Thabrany).
2. Mempelai laki-laki diperbolehkan menggauli isterinya dengan gaya dan model apa saja
selama itu di dalam kemaluan (farj). Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
28
أنزل 􀑧 عن جابر قال : ((إن اليهود قالوا للمسلمين : (( من أتى امرأة وهي مدبرة , جاء ولدها أحول , ف
لى 􀑧 ول الله ص 􀑧 ال رس 􀑧 رة : 223 ] فق 􀑧 الله عز وجل : ((نساؤآم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم )) [البق
الله عليه وسلم: ((مقبلة ومدبرة, ما آان فى الفرج)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Jabir berkata: "Sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata kepada orang-orang muslim:
"Barangsiapa yang menggauli isterinya dari arah belakang (tapi tetap di qubul, kemaluan depan),
maka anaknya akan juling". Allah lalu menurunkan ayat berikut ini: "Isteri-istrimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu dengan
cara bagaimana saja kamu kehendaki (selama itu di kemaluan depan)", Rasulullah saw kemudian
bersabda: "(boleh kamu gauli isteri kamu itu) baik dengan gaya dari arah depan maupun dari arah
belakang selama di dalam kemaluan, bukan di pantat" (HR. Bukhari Muslim).
Sebagian penerjemah seringkali salah dalam menerjemahkan kata mudabbarah dalam
hadits di atas. Penulis mendapatkan beberapa penerjemah Indonesia ketika menerjemahkan kata
mudabbarah tersebut dengan kata: "di dubur, pantat", sehingga orang-orang akan beranggapan
bahwa menyetubuhi isteri di pantat itu boleh. Hal ini jelas sangat salah, karena kata mudabbarah
dalam bahasa Arab berbeda dengan kata dubur. Mudabbarah lebih bersifat kepada gaya atau cara
mendatangi yakni dari arah belakang namun tetap ke dalam kemaluan. Sedangkan kata dubur,
lebih bersifat ke tempat, yakni pantat. Oleh karena itu, hadits ini merupakan salah satu dalil bahwa
menyetubuhi isteri ke dubur, pantatnya, adalah haram.
3. Seorang suami boleh menyetubuhi seluruh tubuh isterinya kecuali dubur, pantat.
ا)) [رواه 􀑧 ى دبره 􀑧 رأة ف 􀑧 ة أو ام 􀑧 ى بهيم 􀑧 ل أت 􀑧 ى رج 􀑧 ة إل 􀑧 وم القيام 􀑧 ر الله ي 􀑧 اس : ((لا ينظ 􀑧 ن عب 􀑧 ال اب 􀑧 ق
النسائي بسند حسن]
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kelak seorang laki-laki
yang menyetubuhi binatang, atau menyetubuhi isterinya di duburnya" (HR. Imam Nasai dengan
sanad Hasan).
عن ابن مسعود أن رجلا قال له : آتى امرأتى أنى شئت, وحيث شئت وآيف شئت؟ قال: نعم, فنظر
يبة 􀑧 ي ش 􀑧 ن أب 􀑧 يكم )) [رواه اب 􀑧 رام عل 􀑧 ساء ح 􀑧 اش الن 􀑧 د الله : مح 􀑧 ال عب 􀑧 دبر ق 􀑧 د ال 􀑧 ه يري 􀑧 له رجل فقال له : إن
والدارمى بسند صحيح]
Artinya: "Ibnu Mas'ud pernah ditanya seorang laki-laki: "Bukankah anda pernah berkata, silahkan
setubuhi isteri saya sekehendak saya, kapan saja dan dengan gaya apa saja sekehendak saya?" Ibnu
Masud menjawab: "Ya". Lalu laki-laki itu menatap Ibnu Mas'ud sambil berkata: "Sesungguhnya
laki-laki itu mau menggaulinya di duburnya". Ibnu Mas'ud berkata: "Dubur wanita itu haram buat
kalian" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Imam ad-Darimy dengan sanad shahih).
Sehungungan dengan hal ini para ulama mengatakan, bahwa yang dilarang itu adalah
menyetubuhinya di dalam dubur (memasukan kemaluan laki-laki ke dalam dubur wanita),
sedangkan mencumbui atau menyentu-nyentuhkan ke dubur isterinya, tanpa dimasukkan ke
dalamnya, menurut para ulama boleh-boleh saja.
Apabila anda ditanya seseorang, bukankah Allah dalam al-Qur'an mengatakan:
( نِسَاؤُآُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة: 223
Artinya: "Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (al-Baqarah: 223).
Dalam ayat ini Allah menyuruh untuk menggauli isteri kita anna syi'tum, bagaimana saja
atau di mana saja yang dikehendaki, berarti kalau kita menginginkan menggauli, maksudnya,
maaf, memasukkan ke pantatnya, boleh-boleh saja, karena termasuk dalam keumuman ayat di
atas?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita lihat dari sisi Ushul Fiqh. Kata anna, dalam
Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan kata al-musykil yang artinya satu kata yang maknanya tidak dapat
diketahui dengan mudah kecuali dibantu dengan keterangan lain atau dengan pengkajian yang
mendalam. Kata anna, dapat berarti "dari mana" (min aina), sebagaimana firman Allah berikut ini:
( يا مريم أنى لك هذا (أل عمران: 37
Artinya: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" (QS. Ali Imran: 37
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
29
Dalam ayat ini, kata anna berarti "dari mana". Apabila kata anna dalam surat al-Baqarah di
atas diartikan dengan "dari mana", maka pemahaman bahwa menggauli isteri dari duburnya sahsah
saja. Hanya saja, apa keterangannya sehingga kata anna dalam ayat 223 surat al-Baqarah di
atas diartikan dengan "dari mana"?
Kini perhatikan makna lain dari kata anna. Dalam ayat berikut, anna juga berarti
"bagaimana" (kaifa). Perhatikan ayat di bawah ini:
( قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ (ال عمران: 40
Artinya: "Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak" (QS. Ali Imran:
40).
Apabila makna anna dalam surat al-Baqarah di atas berarti bagaimana, maka harus dipahami
bahwa kita boleh menggauli isteri kita bagaimana saja cara dan gayanya selama di dalam farj
(vagina).
Persoalannya kini, makna mana yang harus dipakai dalam mengartikan kata anna dalam
suat al-Baqarah ayat 223 di atas? Untuk melihat makna mana yang harus dipakai, tentu harus
melihat kepada keterangan lain terutama hadits Nabi. Ternyata Rasulullah saw di antaranya pernah
bersabda:
ا)) [رواه 􀑧 ى دبره 􀑧 رأة ف 􀑧 ة أو ام 􀑧 ى بهيم 􀑧 ل أت 􀑧 ى رج 􀑧 ة إل 􀑧 وم القيام 􀑧 ر الله ي 􀑧 اس : ((لا ينظ 􀑧 ن عب 􀑧 ال اب 􀑧 ق
النسائي بسند حسن]
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kelak seorang laki-laki
yang menyetubuhi binatang, atau menyetubuhi isterinya di duburnya" (HR. Imam Nasai dengan
sanad Hasan).
عن ابن مسعود أن رجلا قال له : آتى امرأتى أنى شئت, وحيث شئت وآيف شئت؟ قال: نعم, فنظر
يبة 􀑧 ي ش 􀑧 ن أب 􀑧 يكم )) [رواه اب 􀑧 رام عل 􀑧 ساء ح 􀑧 اش الن 􀑧 د الله : مح 􀑧 ال عب 􀑧 دبر ق 􀑧 د ال 􀑧 ه يري 􀑧 له رجل فقال له : إن
والدارمى بسند صحيح]
Artinya: "Ibnu Mas'ud pernah ditanya seorang laki-laki: "Bukankah anda pernah berkata, silahkan
setubuhi isteri saya sekehendak saya, kapan saja dan dengan gaya apa saja sekehendak saya?" Ibnu
Masud menjawab: "Ya". Lalu laki-laki itu menatap Ibnu Mas'ud sambil berkata: "Sesungguhnya
laki-laki itu mau menggaulinya di duburnya". Ibnu Mas'ud berkata: "Dubur wanita itu haram buat
kalian" (HR. Ibn Abi Syaibah dan Imam ad-Darimy dengan sanad shahih).
Keterangan inilah yang kemudian menjadi penjelas, bahwa kata anna dalam surat al-
Baqarah tersebut harus diartikan dengan "bagaimana" (kaifa), bukan "dari mana" (min aina).
Karena kalau diartikan "dari mana", tentu dibolehkan menggauli isteri di duburnya, sementara
dalam hadits di atas jelas sangat dilarang. Kini, makna anna dalam surat al-Baqarah harus
diartikan dengan "bagaimana" sehingga maknanya seorang suami dibolehkan menggauli isterinya
dengan gaya dan model apa saja, selama di dalam vaginanya, bukan di dalam duburnya.
4. Tidak boleh menyetubuhi isterinya yang sedang haidh. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh
Allah berikut ini:
ى 􀑧 وهُنَّ حَتَّ 􀑧 ا تَقْرَبُ 􀑧 يضِ وَلَ 􀑧 ي الْمَحِ 􀑧 سَاءَ فِ 􀑧 اعْتَزِلُوا النِّ 􀑧 وَ أَذًى فَ 􀑧 لْ هُ 􀑧 وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُ
بُّ 􀑧 وَّابِينَ وَيُحِ 􀑧 بُّ التَّ 􀑧 هَ يُحِ 􀑧 هُ إِنَّ اللَّ 􀑧 رَآُمُ اللَّ 􀑧 ثُ أَمَ 􀑧 نْ حَيْ 􀑧 أْتُوهُنَّ مِ 􀑧 رْنَ فَ 􀑧 إِذَا تَطَهَّ 􀑧 رْنَ فَ 􀑧 يَطْهُ
( الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu
di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri" (QS. Al-Baqarah: 222).
Menurut ahli kesehatan, darah haidh itu apabila disemburkan atau disiramkan ke tanaman,
maka tidak berapa lama setelah itu, tanaman tersebut akan mati. Hal ini karena sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur'an di atas bahwa ia adalah darah penyakit. Apabila ke tanaman saja
membuatnya mati, apalagi kalau mengenai kemaluan laki-laki.
Lalu, bagaimana dan apa yang harus dilakukan seandainya suami hendak melakukan
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
30
hubungan badan sementara si isterinya sedang haid?
Rasulullah saw dalam hal ini menerangkan silahkan melakukan apa saja, bercumbu apa
saja dan bagaimana saja selama tidak melakukan hubungan badan. Perhatikan hadits berikut ini
dimana ketika ditanyakan kepada Rasulullah saw, apa yang harus dilakukan ketika si isteri sedang
haid, Rasulullah saw menjawab:
اح )) 􀑧 يء إلا النك 􀑧 ل ش 􀑧 نعوا آ 􀑧 لم : ...واص 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 عن أنس قال قال رس
[رواه مسملم]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Lakukan apa saja selain berhubungan badan" (HR. Muslim).
ت 􀑧 دانا إذا آان 􀑧 أمر أح 􀑧 لم ي 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ان رس 􀑧 ت : ((آ 􀑧 ا قال 􀑧 شة أنه 􀑧 ن عائ 􀑧 ع
حائضا أن تتزر, ثم يضاجعها)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami isteri-isterinya untuk
memakai kain (sarungan), manakala kami sedang haid. Lalu beliau mencumbui kami" (HR.
Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain:
نع 􀑧 آان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد من الحائض شيئا ألقى على فرجها ثوبا ثم ص
ما أراد (رواه البيهقى)
Artinya: "Rasulullah saw apabila beliau menghendaki sesuatu dari isteri-isterinya yang sedang
haid, beliau meletakkan kain di atas kemaluan isteri-isterinya tersebut, lalu melakukan apa saja
yang beliau kehendaki" (HR. Baihaki).
5. Apabila si suami orang yang sangat kuat dalam berhubungan badan sehingga ia ingin
mengulangi hubungan badannya yang kedua, ketiga atau seterusnya, maka disunnahkan
untuk berwudhu terlebih dahulu.
قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إذا أتى أحدآم أهله ثم أراد أن يعود فليتوضأ)) [رواه مسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apabila seseorang menggauli isterinya kemudian ia hendak
menambahnya untuk yang kedua kali, maka berwudhulah terlebih dahulu" (HR. Muslim).
6. Seorang isteri tidak boleh menolak apabila suaminya meminta untuk berhubungan badan.
Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
ى 􀑧 ه إل 􀑧 ل امرأت 􀑧 ا الرج 􀑧 ال : ((إذا دع 􀑧 لم ق 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ي ص 􀑧 ه أن النب 􀑧 عن أبي هريرة رضي الله عن
فراشه فأبت أن تجيء لعنتها الملائكة حتى تصبح)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang suami
mengajak isterinya untuk melakukan hubungan badan, lalu isterinya itu menolaknya, maka ia akan
dilaknat oleh para malaikat sehingga waktu pagi tiba" (HR. Bukhari Muslim).
7. Apabila seorang suami merasa tertarik oleh wanita lain, maka segeralah gauli isterinya,
karena hal itu akan menghilangkan pikiran kotornya terhadap wanita tersebut. Hal ini
didasarkan kepada hadits berikut ini:
ى 􀑧 دبر ف 􀑧 يطان , وت 􀑧 عن أبي هر يرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن المرأة تقبل فى صورة ش
صورة شيطان , فإذا رأى أحدآم من امرأة ما يعجبه , فليأت أهله , فإن ذلك يرد ما فى نفسه )) [رواه
مسلم]
Artinya: "Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya wanita itu
baik ketika menghadap ataupun membelakangi dalam bentuk syaithan (menggoda). Apabila salah
seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari wanita, maka segeralah datangi
keluarganya, karena dengan demikian dapat menolak apa yang sedang bergejolak di dalam
dirinya" (HR. Muslim).
8. Masing-masing suami atau isteri tidak boleh menceritakan rahasia-rahasia ketika
berhubungan badan apabila dinilai tidak ada maslahahnya, tidak ada manfaatnya. Hal ini
didasarkan kepada hadits berikut ini:
رأة 􀑧 ى الم 􀑧 قال النبي صلى الله عليه وسلم : ((إن من أشر الناس عند الله يوم القيامة , الرجل يفضى إل
وتفضى إليه ثم ينشر سرها)) [رواه مسلم]
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
31
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya sejahat-jahat manusia di sisi Allah kelak pada
hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli isterinya atau isteri yang menggauli
suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia-rahasia hubungan badannya itu" (HR. Muslim).
Namun, apabila dinilai ada manfaat dan ada kemaslahatan misalnya ketika hendak
menerangkan seputar itu, maka tidak mengapa sedikit menerangkannya. Hal ini sebagaimana
dilakukan oleh isteri-isteri Rasulullah saw. Namun, apabila yang diceritakan itu adalah aib, atau
kelemahan suaminya atau tidak ada manfaat sedikitpun, maka haram hukumnya.
9. Perhatikan kepuasan dan kenikmatan isteri / tidak boleh egois. Dalam ajaran Islam juga diatur
bahwasannya seorang suami tidak boleh egois, asal enak dan nikmat sendiri ketika berhubungan
badan. Si suami juga harus memperhatikan apakah si isteri sudah mencapai kenikmatan yang
maksimal ketika berhubungan badan atau tidak. Apabila si suami, maaf, hendak orgasme dan
mencapai kenikmatan puncak, sementara si isteri belum, maka Rasulullah saw mengajarkan agar si
suami bersabar dan menahan orgasmenya sampai si isteri betul-betul merasakan kenikmatan yang
sama. Dalil larangan egoisme suami dalam "bercinta" ini sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut ini:
ه 􀑧 دآم أهل 􀑧 امع أح 􀑧 لم : ((إذا ج 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ال رس 􀑧 ال ق 􀑧 ك ق 􀑧 ن مال 􀑧 س ب 􀑧 ن أن 􀑧 ع
ا)) 􀑧 ضى حاجته 􀑧 ى تق 􀑧 ا, حت 􀑧 فليصدقها, فإذا قضى حاجته قبل أن تقضى حاجته ا, فلا يعجله
[رواه أبو يعلى]
Artinya: "Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang suami menggauli
isterinya, maka jujurlah kepadanya (maksudnya, mungkin terus teranglah). Apabila si suami akan
segera mencapai kenikmatan (orgasme) sementara si isterinya belum akan orgasme, maka si suami
tidak boleh menyegerakan orgasmenya (maksudnya tahanlah sebentar), sampai si isteri betul-betul
merasakan kenikmatannya (orgasme)" (HR. Abu Ya'la).
10. Suami diperbolehkan menggauli isterinya yang sedang menyusui (al-ghilah).
Dalam istilah fiqih, wanita yang sedang menyusui bayinya baik bayi tersebut sudah lahir
maupun masih di dalam kandungan, disebut dengan al-ghilah. Apabila isteri sedang hamil besar
atau sedang menyusui bayinya yang masih kecil, kemudian si suami sangat ingin menggauli
isterinya tersebut, maka hal itu boleh-boleh saja. Hal ini didasarkan kepada keterangan berikut ini:
ة , 􀑧 ن الغيل 􀑧 ى ع 􀑧 ت أن أنه 􀑧 د همم 􀑧 ول : ((لق 􀑧 لم يق 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 عن عائشة أنها سمعت رس
حتى ذآرت أن الروم وفارس يصنعون ذلك فلا يضر أولادهم)) [رواه مسلم]
Artinya: "Dari Siti Aisyah, bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
((Sungguh saya ingin sekali melarang suami menggauli isterinya yang sedang menyusui. Hanya
saja, saya teringat bahwa orang-orang Rum dan Persia melakukan hal itu juga dan ternyata tidak
menyebabkan madarat kepada anak-anaknya" (HR. Muslim).
11. Makruh melakukan 'Azl (mengeluarkan air mani di luar vagina).
'Azl adalah seorang suami mengeluarkan air maninya tidak di dalam kemaluan isteri akan
tetapi di luarnya. 'Azl biasanya dilakukan untuk menghindari agar si isteri tidak hamil. Hal ini
jelas dibenci dalam ajaran Islam, karena dinilai sebagai upaya pembunuhan kecil; air mani yang
boleh jadi akan menjadi seorang anak, tapi karena ditumpahkan di luar vagina, akhirnya tidak
membuahkan anak.
Dalam ajaran islam, seorang suami atau isteri tidak boleh mencegah terjadinya kehamilan,
semata-mata karena takut tidak dapat memberikan makan, karena Allah yang akan memberikan
makannya. Oleh karena itu, sebaiknya praktek 'azl ini dihindari baik oleh suami maupun isteri.
Apabila hendak mengurangi terjadinya kehamilan, maka sebaiknya dilakukan upaya alami berupa
KB Kalender. Di mana si suami hanya menggauli isterinya ketika tidak masa subur yakni masamasa
seminggu setelah wanita haid (masa subur bagi wanita adalah seminggu setelah haid). Ini
tentu lebih aman dan lebih halal dari pada praktek 'azl di atas. Dalil makruhnya praktek 'azl ini
adalah hadits berikut ini:
وْءُودَةُ 􀑧 ي )) ((وَإِذَا الْمَ 􀑧 وأد الخف 􀑧 ك ال 􀑧 ال: ((ذل 􀑧 زل , فق 􀑧 ن الع 􀑧 لم ع 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ي ص 􀑧 ئل النب 􀑧 د س 􀑧 فق
سُئِلَتْ)) [رواه مسلم]
Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang 'azl, beliau menjawab: "Sesungguhnya 'azl itu
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
32
adalah pembunuhan tersembunyi"Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya" (QS. At.Takwir: 8)" (HR. Muslim).
Hadits di atas jelas sangat melarang praktek 'azl. Akan tetapi mengapa hukumnya hanya
makruh (dibenci saja dan kalau pun dilakukan praktek 'azl ini tidak mengapa) dan bukan haram?
Karena terdapat hadits-hadits lain yang membolehkan praktek 'azl ini. Oleh karena terdapat hadits
lain yang membolehkan praktek 'azl ini, maka hokum 'azl menjadi makruh saja bukan haram.
Hadits yang membolehkan dimaksud adalah sebagai berikut:
ا, 􀑧 زل عنه 􀑧 ا أع 􀑧 ي وأن 􀑧 ة ل 􀑧 عن جابر أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ((إن عندى جاري
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن ذلك لن يمنع شيئا أراده الله)) [أخرجه مسلم]
Artinya: Dari Jabir, bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw:
"Sesungguhnya saya mempunyai seorang budak perempuan, dan saya biasa melakukan 'azl
kepadanya". Rasulullah saw menjawab: "Sesungguhnya hal itu tidak akan menghalangi sesuatu
apapun yang telah dikehendaki oleh Allah (maksudnya, dengan azl tidak akan menyebabkan tidak
punya anak, karena kalau Allah sudah menentukan dia harus mempunyai anak dengan 'azl itu,
tentu akan mempunyai anak juga)" (HR. Muslim).
وفى رواية: ((اعزل إن شئت, فإنه سيأتيها ما قدر لها))
Artinya: Dalam riwayat lain dikatakan: "Lakukanlah 'azl sekehendak kamu, karena ia tetap akan
menyebabkan datangnya apa yang telah ditakdirkan oleh Allah"
ه 􀑧 زل )) [أخرج 􀑧 رآن ين 􀑧 لم والق 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 د رس 􀑧 ى عه 􀑧 زل عل 􀑧 ا نع 􀑧 عن جابر قال : ((آن
البخارى ومسلم]
Artinya: Jabir berkata: "Kami biasa melakukan 'azl pada masa Rasulullah saw, sementara al-Qur'an
tetap turun (dan tidak melarang kami satu ayat pun)" (HR. Bukhari Muslim).
Bolehkan melihat aurat isteri atau suami dan menyentuh / memegangnya?
Persoalan melihat aurat isteri atau suami terutama aurat besar (farj atau dzakar, kemaluan
perempuan dan laki-laki) masih menjadi bahan perdebatan di antara para ulama. Hal ini terjadi karena
terdapat banyak hadits antara yang membolehkan dan yang melarang. Untuk lebih jelas mengupas
masalah ini, marilah kita bahas dimulai dengan dalil-dalil yang melarang melihat kemaluan pasangannya.
عن عائشة قالت: ((ما رأيت عورة رسول الله صلى الله عليه وسلم قط)) [رواه الطبرانى]
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Saya tidak pernah melihat sekalipun aurat Rasulullah saw" (HR.
Thabrany).
Hadits ini dinilai oleh Ibn Hajr al-Asqalany sebagai hadits Dhaif (lemah), karena dalam sanadnya
ada seorang rawi yang bernama Barakah bin Muhammad al-Halaby, bahwasannya ia seorang pembohong.
Demikian juga dengan rawi-rawi lainnya seperti Abu Shalih Bazim dan Muhammad bin al-Qasim al-
Asady bahwa keduanya tukang bohong.
ورث 􀑧 ه ي 􀑧 ا فإن 􀑧 ى فرجه 􀑧 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا جامع أحدآم زوجته فلا ينظر إل
العمى))
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang laki-laki menggauli isterinya, maka janganlah
melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan buta (keturunannya)".
Hadits ini adalah hadits Maudhu' (hadits dibuat-buat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Jauzi
dan Abu Hatim ar-Razi.
Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan melihat kemaluan pasangan adalah:
ى 􀑧 ر إل 􀑧 ن النظ 􀑧 اءه م 􀑧 لم حي 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله ع لي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ى رس 􀑧 كا إل 􀑧 ين ش 􀑧 ون ح 􀑧 عن عثمان بن مظع
ا, 􀑧 ك لباس 􀑧 ا الله ل 􀑧 د جعله 􀑧 ف وق 􀑧 لم : ((آي 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ه رس 􀑧 ال ل 􀑧 ه, فق 􀑧 ورة زوجت 􀑧 ع
وجعلك لها لباسا؟ قال: أنى أستحيي من ذلك. قال: فإنى أفعله, وهن يفعلنه))
Artinya: "Dari Utsman bin Madh'un ketika mengadu kepada Rasulullah saw mengenai rasa malunya
ketika melihat aurat isterinya, Rasulullah saw menjawab: "Bagaimana tidak, bukankah Allah telah
menjadikan isterimu itu sebagai pakaian dan kamu sebagai pakaiannya juga?" Utsman menjawab: "Saya
justru malu dengan hal itu". Rasulullah saw menjawab: "Saya juga melakukannya dan mereka isteri-isteri
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
33
saya pun melakukannya juga".
د 􀑧 ه واح 􀑧 ى وبين 􀑧 اء بين 􀑧 ن إن 􀑧 لم م 􀑧 ه وس 􀑧 عن عائشة قالت : آنت أغتسل أنا ورسول الله صلى الله علي
فيبادرنى حتى أقول له: دع لى, ودع لي, وهما جنبان)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Saya dengan Rasulullah saw mandi bersama dalam satu bejana. Beliau lalu
mencandaiku sehingga saya berkata kepadanya: "Lepaskan aku, lepaskan aku", dan keduanya dalam
keadaan junub" (HR. Bukhari Muslim).
Hadits inilah yang dijadikan hujjah oleh sementara ulama mengenai bolehnya suami atau isteri
melihat aurat besar pasangannya. Sulaiman bin Musa pernah ditanya tentang hokum seorang suami
melihat aurat pasangannya. Ia menjawab: "Saya bertanya kepada Atha dan Atha bertanya kepada Siti
Aisyah, dan Siti Aisyah menyebutkan hadits ini (artinya boleh).
Bagaimana dengan hadits yang mengatakan bahwa seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat lakilaki
lainnya demikian juga dengan wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya? Hal ini, hemat
penulis, dapat dijawab dengan mengatakan bahwa hal itu tidak termasuk untuk suami isteri. Sedangkan
untuk suami isteri diperbolehkan berdasarkan hadits-hadits di atas.
Mengakhiri pembahasan seputar ini, penulis akan ketengahkan pendapat Ibn Urwah al-Hanbali
dalam bukunya al-Kawakib ad-Darary sebagaimana dikutip oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albany berikut ini:
رج 􀑧 رج , ولأن الف 􀑧 ى الف 􀑧 سه , حت 􀑧 ومباح لكل واحد من الزوجين النظر إلى جميع بدن صاحبه ولم
يحل له الاستمتاع به, فجاز النظر إليه ولمسه آبقية البدن. وهذا مذهب مالك وغيره.
Artinya: "Bagi masing-masing suami isteri dibolehkan melihat seluruh badan pasangannya, termasuk
dibolehkan juga memegang dan menyentuhnya termasuk kemaluannya. Karena kemaluan ini dihalalkan
untuk digauli, maka tentu dilihat atau dipegang jauh lebih dibolehkan sebagaimana dibolehkannya melihat
dan menyentuh anggota badan lainnya. Ini juga merupakan pendapatnya Imam Malik dan yang lainnya".
Penulis juga sependapat untuk mengatakan bahwa suami isteri di samping boleh melihat kemaluan
dan aurat pasangannya, juga dibolehkan untuk menyentuh atau memegangnya selama hal itu diperlukan
atau dapat menambah kenikmatan dalam berhubungan badan.
Bolehkah berhubungan badan sambil telanjang bulat?
Persoalan kedua yang tidak kalah pentingnya dan sering kali menjadi bahan perdebatan di
kalangan masyarakat adalah, bolehkah suami isteri ketika berhubungan badan telanjang bulat, tanpa
busana? Dalam hal ini, juga terjadi silang pendapat, antara yang membolehkan dengan yang tidak. Untuk
lebih memperjelas sebab persoalan, berikut ini penulis sodorkan di antara hadits yang dijadikan dalil oleh
kelompok yang mentidakbolehkan suami isteri berhubungan badan dengan telanjang bulat.
ه 􀑧 دآم أهل 􀑧 ى أح 􀑧 لم : ((إذا أت 􀑧 ه وس 􀑧 لى الله علي 􀑧 ول الله ص 􀑧 ال رس 􀑧 ال : ق 􀑧 سلمى ق 􀑧 د ال 􀑧 ن عب 􀑧 ة ب 􀑧 ن عتب 􀑧 ع
فليستتر, ولا يتجرد تجرد العيرين)) [رواه ابن ماجه]
Artinya: Utbah bin Abd as-Silmi berkata, Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian
menggauli isterinya, maka hendaklah memakai penghalang, dan janganlah ia telanjang bulat sebagaimana
dua himar yang sedang berhubungan badan" (HR. Ibn Majah).
Hanya saja, hadits ini Dhaif dan karenanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, sebagaimana yang
diutarakan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albany. Menurutnya, dalam hadits tersebut ada seorang rawi yang
bernama al-Ahwash bin Hakim dan dia itu orangnya dhaif, lemah. Demikian juga dalam hadits tersebut
ada rawi yang bernama al-Walid bin al-Qasim al-Hamdany yang dilemahkan oleh Ibn Mu'in dan yang
lainnya. Oleh karena itu, hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.
Ustadz Sayyid Sabiq dalam hal ini juga berpendapat bahwa seorang suami isteri ketika melakukan
hubungan badan dilarang telanjang bulat. Di antara hadis yang dikemukakannya selain hadits di atas, juga
hadits berikut ini:
قالت عائشة: لم ير رسول الله صلى الله عليه وسلم منى ولم أر منه (أخرجه ابن ماجه)
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw tidak pernah melihat (kemaluan)saya, demikian juga saya
tidak pernah melihat kemaluannya" (HR. Ibn Majah).
Hanya saja, lagi-lagi hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Bushairy. Karena hadits
Copyright Aep Saepulloh Darusmanwiati (indonesianschool.org)
34
tersebut dhaif, maka tidak dapat dijadikan dalil.
Penulis juga melihat, dalil-dalil yang mengatakan tidak bolehnya suami isteri berhubungan badan
dengan telanjang, adalah dhaif dan tidak dapat dijadikan dalil.
Kini, beralih kepada kelompok yang mengatakan bahwa suami isteri boleh mengadakan hubungan
badan dengan kondisi telanjang bulat.
( نِسَاؤُآُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة: 223
Artinya: "Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (al-Baqarah: 223).
Ayat ini secara tegas mengatakan bahwa suami boleh menggauli isterinya dengan cara dan gaya
bagaimana saja selama di dalam farjinya. Tentu untuk dapat melakukan hal demikian, umumnya
dibutuhkan kondisi tidak berpakaian sama sekali. Karena itu, telanjang bulat dalam berhubungan badan
dibolehkan karena termasuk keumuman dari ayat di atas.
Dalil lain yang dikemukakan kelompok ini adalah, hadits dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa
ia seringkali mandi bersama Rasulullah saw dalam satu bijana. Hal ini, menurut kelompok ini, lebih tegas
mengatakan bahwa bertelanjang bulat bagi suami isteri sangat dibolehkan.
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk memahami, bahwa kelompok yang
melarang suami isteri telanjang bulat ketika melakukan hubungan badan, hanya sebatas muru'ah saja.
Artinya, hanya etika dan lebih bagusnya, bukan sesuatu yang haram. Jadi mereka hendak mengatakan,
kalau memungkinkan, sebaiknya tidak telanjang bulat sama sekali. Tapi kalau tidak, ya silahkan.
Untuk itu, penulis cenderung untuk mengatakan, bahwa seorang suami isteri boleh-boleh saja
telanjang bulat ketika berhubungan badan karena hal ini jelas sudah halal bagi mereka, apabila hal
demikian dipandang perlu. Namun demikian, ketika keduanya melakukan hubungan badan dengan
telanjang bulat, sebaiknya ditutup dengan kain atau selimut. Hal ini agar lebih menjaga boleh jadi
"kenikmatan" dari berhubungan badan, juga dari muru'ah, atau etikanya. Wallahu 'alam.
Penutup
Demikian sekilas pembahasan seputar mahar, I'lan pernikahan dan etika malam pertama berikut
berhubungan badan menurut tuntunan ajaran Islam. Semua yang penulis kemukakan dimaksudkan agar
kita memahami dengan betul bagaimana ajaran kita mengatur hal itu. Terutama soal hubungan intim yang
belakangan ini marak dibicarakan, sehingga dengannya kita terhindar dari hubungan intim yang seperti
binatang sebagaimana serignkali kita dengar berita-berita dari Barat, ataupun terhindar dari hubungan
intim yang terlalu kaku yang tentunya akan sedikit mengganggu keharmonisan rumah tangga, sekaligus
akan mengganggu menghasilkan keturunan yang shalih yang mana kita senantiasa mengharapkannya.
Untuk makalah berikutnya, insya Allah, penulis akan mencoba mengetengahkan masih dalam
serial Fiqh Munakahat seri V tentang hak dan lewajiban suami isteri dalam ajaran islam. Semoga tulisan
ini bermanfaat, amin. Wallahu 'alam bis shawab.
***Makalah ini special dipersembahkan untuk kawan-kawan tercinta siswa siswi Sekolah Indonesia
Cairo (SIC) pada pengajian rutin remaja Sabtuan di Mesjid Indonesia Kairo, Egypt.
Email: aepmesir@yahoo.com
Qatamea, Ahad, 12 June 2005 setelah waktu Shubuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar